30 Oktober 2008

Kembali, Menggugat Relasi Kultural Laki-laki dan Perempuan

Judul : Geni Jora
Pengarang : Abidah El Khalieqy
Tebal Buku : 222 Halaman
Penerbit : Mahatari, Yogyakarta
Cetakan : Pertama
Geni Jora adalah api yang menyala. Api dari benak seorang perempuan yang menggugat relasi patrikal yang menelikung kehidupannya. Eksistansinya yang senantiasa diposisikan sebagai subordinat dari relasi laki-laki perempuan. Api yang melecut kesadaran seorang perempuan Kejora untuk meluruskan garis yang demikian bersebrangan itu menjadi sejajar.
Perempuan Kejora dengan latar belakang dunia pesantren diperhadapkan pada kultur global yang demikian pragmatis. Bagaimana nurani religi dipertahankan diantara arus deras pecintaan eksotik. Hal ini menyajikan sesuatu yang baru yang selama ini menggeragap dalam komunitas tertutup dan tidak terungkap ke permukaan.
Seperti yang diungkapkan Maman S. Mahayana, seorang pengamat dan kritikus sastra, Geni Jora lebih halus dalam menyelusupkan ideologi gendernya. Tidak terjebak pada sinisme yang radikal. Dalam bentuknya yang konvensional Geni Jora mampu menyajikan nuansa lain dari khasanah budaya bangsa negeri ini yang demikian kompleks, heterokultural dan tak termunculkan melalui bahasa sastra.
Melalui tokoh-tokohnya, pemenang kedua sayembara novel 2003 Dewan Kesenian Jakarta ini menyuguhkan karakteristik dan budaya indonesia yang berakar pada budaya timur tengah. Dengan dominasi istilah agama dan bahasa arab disana-sini merupakan variasi yang ‘lain’ dari sastra eskperimental yang banyak bermunculan sekarang ini. Walau pun pengarangnya sendiri, Abidah El Khalieqi lebih mementingkan pergulatan visi dan misi yang bisa dimaknai secara estetis oleh pembacanya.
Plot yang dikemas secara linier memungkinkan pembaca untuk mengikutinya secara mudah dan menghilangkan kesan berlama-lama terhadap detil yang tidak perlu. Beberapa catatan kaki yang diletakkan di akhir cerita mungkin agak sedikit mengurangi keterpahaman dalam memaknai cerita. Tapi di sisi lain mengindikasikan koherensi yang tepat bagi integralnya cerita, dan boleh jadi sangat penting jika ditujukan untuk menyuguhkan realitas kultur sang Kejora.
Memahami perempuan Kejora adalah satu langkah untuk mencoba mengerti dunia perempuan yang berakar pada religi dan tradisi. Keduanya memberikan energi untuk terserabut dari akar-akar keperempuanan kultur patriakhal, sekaligus terjebak pada interpretasi ‘berbeda’ yang diejawantahkan atmosfer kehidupan di sekelilingnya. Memunculkan karakter tokoh cerita yang kuat di antara pergulatan nurani religi dan kultur sosial yang memerangkap.
Keterasingan dan kesunyian masa kecil, pendoktrinan perempuan sebagai subordinat dalam relasi laki-laki perempuan, keterkunkungan dalam kolaborasi feodalisme gaya timur tengah dan jawa timur, sampai intrik seksual keluarga yang menekan sang Kejora kecil. Menimbulkan riak dan gelombang kesepian yang ditumpahkan pada sang malam. Pada sunyi yang lain, pada sepi yang lain. Yang gigilnya menentramkan. Yang heningnya menyamankan.
Dengan segala latar belakang Kejora muncul dalam kekuatan pribadi yang unik dan klasik sekaligus. Seperti yang diungkapkan tokoh Zakky, kekasih sang Kejora dalam salah satu dialognya.
“Kau begitu konsisten dengan keyakinanmu. Inspirasimu merdeka dan kau berjalan di atas pijakan sangat kuat, tidak hanyut bahkan oleh prahara kenikmatan. Bahkan disamping kekasihmu, kau kelihatan sangat mandiri. Dari mulutmu aku mendengar kumandang ayat suci menjadi begitu segar. Sangat lain.” (Hal: 141)
Di sini pengarang juga memunculkan karakter Kejora melalui pengamatan sang Zakky sebagai mukminat hanif, cerdas, tahu bersyukur pada Tuhan dan luar biasa cantik. (hal: 140). Sabuah interpretasi terhadap sosok perempuan muslim yang mendekati titik-titik kesempurnaan hidup. Berpijak pada balancing antara tuntutan manusiawi dan tuntutan religiusitas.
Dalam keberadaannya sebagai sosok yang demikian memesona. Kejora tidak menafikan dirinya. Dengan jujur dalam salah satu dialognya dia berujar pada Zakky, kekasihnya, yang putra mudirul ma’had, mahasiswa S2 di sebuah Universitas terkenal di Damaskus, mantan Ketua dari kelompok kajian agama yang cukup prestisius di Teqiyeh el Sulaimaniteh dengan segudang aktivitas intelektual yang juga memiliki reputasi prestisius dalam mengoleksi perempuan cantik, yang dibahasakan Kejora sebagai seorang pemburu.
“sebab getaran tubuhku dalah getaran tubuh perempuan normal. Ia mendambakan dan memerlukan cumbuan dari seorang laki-laki. Akan halnya mimpiku, ia penuh sesak oleh adegan cumbu. Di sisi lain, getaran nuraniku aktif berfungsi memilah-milah kecenderungan biologisku, kapan harus belok kanan, belok kiri, lempeng ke depan atau menanjak ke atas, meluncur ke bawah. Alhamdulillah! Kuharap jalanku masih di bawah pimpinan nuraniku.”
Menguak Kejora adaalah mengenali satu lagi tipikal perempuan indonesia dengan latar berbeda. Dengan ikatan kesepian masa kecil dalam tembok kolaborasi feodalisme gaya timur tengah dan jawa timur yang menjeratnya untuk menjadi subordinat dari entitas dan komunitas kaum lelaki.
Sehungga ia melarikan sepi pada malam. Malam yang sunyi dan keheningannya menentramkan. Malam yang menjadi se-sejatinya kawan berbincang dan berbagi kehidupan. Malam yang menjadikannya utuh dalam tahajud daan sujud panjang.
Geni jora sebagai novel adalah menarik untuk dinikmati atau pun dikaji sebagai pembelajaran dalam khasanah kehidupan. Sekali lagi wacana sastra yang mengungkap eksistensi perempuan dengan latar nuansa pesantren yang memiliki dunianya tersendiri. Laksana Kejora yang memukau dan menggetarkan.
”Lariku tak bisa dihentikan oleh nilai. Norma dan istiadat yang menyekati. Sebab perburuanku di jalan nurani, benderang serupa paginya musim semi.” (Hal: 146).
(tulisan ini juga kenang-kenangan dari aktivitasku di persma....)

dari tinta sampai tetesan darah, dari puisi sampai tragedi

Judul : The Dante Club
Penulis : Matthew Pearl
Penerbit : Q-Press, Bandung, Agustus 2005
Tebal : 616 halaman
Cetakan : Pertama

Tahun 1865, di kawasan Boston, empat sastrawan besar Amerika, Henry Wadsworth Longfellow, Oliver Wendell Holmes, James Russell Lowell, Oliver Wendell Holmes, dan J.T Fields mengerjakan proyek literasi fenomenal. Dengan bendera The Dante Club mereka menerjemahkan Divina Commedia karya Dante Alieghieri (1265-1321), sastrawan Italia yang kontroversi.

Bersamaan dengan itu, serangkaian pembunuhan kejam yang diilhami adegan-adegan dalam inferno terjadi. Artemus Prescott Healey, Ketua Kehakiman Boston menjadi korban pertama. Korban kedua Elisha Talbot, Pendeta Gereja Unitarian Kedua di Crambridge. Lalu Phineas Jennison, pebisnis baru paling kaya di Boston menjadi korban ketiga. Healey ditemukan mati dengan ribuan belatung dan serangga di tubuhnya. Talbot ditemukan dalam lubang di ruang bawah tanah Gereja dengan posisi tubuh terbalik dan kedua kaki terbakar hangus. Sementara Jennison ditemukan di benteng tua dengan posisi tubuh tergantung dan tercabik seperti dikuliti.

Diantara birokrasi pemerintah dan kepolisian yang belum mapan, Nicholas Rey, polisi berkulit hitam pertama di Boston, berusaha mengungkap dan menemukan pelaku pembunuhan ini. Campur tangan Biro Detektif yang mengejar hadiah dan uang, serta statusnya sebagai mullato membuatnya kerap terjepit dalam situasi sulit dan terjebak birokrasi berbau rasial.

The Dante Club menerjemahkan Divina Commedia dengan goresan tinta, sementara sang lucifer-sebutan The Dante Club untuk sang pembunuh- menerjemahkan karya Dante dengan darah korbannya. Proyek The Dante Club terancam, diam-diam mereka menyelidiki motif dan pelaku pembunuhan yang menyiratkan ke-Dante-an tersebut.

Dr. Augustus Manning, Bendahara Korporasi Harvard menganggap The Dante Club berusaha menyebarkan kesusastraan asing ke kota Boston yang ajarannya dianggap akan meresahkan masyarakat. Menurutnya bahasa dan sastra modern-seperti Italia-bermutu rendah. Merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan reputasi universitas, Manning menyewa Detektif untuk memantau kegiatan The Dante Club.

Novel thriller ini diwarnai kegetiran hidup para veteran perang dan imigran dengan berbagai latar belakang. Belatung-belatung menjijikan, serangga-serangga mematikan. Kekakuan dunia akademis dan menara gading universitas. Pertanyaan falsafati tentang hakikat karya sastra, mengalir dan memukau dalam karya perdana Matthew Pearl ini.

Pearl menyatukan latar dan psikologis tokoh dengan memikat.
...tempat angin dingin menerjang bangunan batu bata tua itu. Dia merasakan kabut tebal berjelepak, dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Lalu lonceng berdentang dari segenap penjuru alam semesta. Dan Rey berlari. (Hal: 344).

Apik dalam menghadirkan gejolak perasaan tentang kehidupan .(Hal: 347).
Selalu saja ada godaan untuk percaya bahwa dunia sekedar perangkap agar manusia berbuat dosa. Tetapi hanyalah kegagalan untuk menegakkan sebuah hukum yang sempurna. Bagi kakek moyangnya, misteri besar kehidupan itu adalah dosa itu sendiri. Bagi Dr. Holmes, misteri itu adalah penderitaan. Dia tidak pernah berharap menyingkapnya terlalu banyak. Kenangan pekat, keceriaan dan gejolak tawa yang berlebihan, melekat erat pada pikiran linglung Holmes ketika dia menatap ke depan.

Pearl juga mengungkapkan pemikirannya tentang Dante, sumber inspirasinya.
Dante dengan membedah orang lain, meminta kita untuk saling mengenal. Dante menulis puisi untuk membebaskan kita dari sang waktu ketika kematian tak bisa dipahami. Dia menulis untuk memberi kita harapan hidup ketika kita tak memiliki apapun... (Halaman 378)

Novel yang diapresiasi dan direspon banyak kalangan ini mengambil tokoh utama para sastrawan besar Amerika yang hidup pada tahun 1800-an. Situasi politik ekonomi, keadaan pasca-perang saudara, menjadikan karya sastra ini produk literasi yang banyak diminati pembaca dunia. Diakhir novel ini dilontarkan beberapa pertanyaan sebagai bahan diskusi untuk pembaca.

Sastra yang menghembuskan nafas kehidupan dan kematian, yang dapat membelenggu dan juga dapat membebaskan....

(tulisan ini pernah dimuat tabloid kampus, waktu aku masih aktif di persma dulu.)

25 Oktober 2008

10-10

Dia dan aku berbicara dengan nada dan gaya seperti dulu. Seperti ketika kami masih berseragam putih-biru. Sempat ada jeda dan intensitas pertemuan yang tak lagi sama. Lalu seiring waktu, seragam kami berganti putih-abu.
Entah bagaimana nada dan gaya berbicara kembali pada frekuensi yang sama. Untuk sekian lama. Sampai pada suatu ketika, kecewa dalam tataran ganda membuatku memaksa mengalihkan nada, berbicara dalam frekuensi yang tak lagi sama. Dengan kesengajaan yang terlalu kentara.
Pada kurun waktu berikutnya, diam-diam nada bicara kami kembali bagai semula, meski di titik tertentu dia dan aku memiliki frekuensi sendiri-sendiri.
Pada pukul 10 pagi, tanggal 10, bulan 10 nada bicara itu kembali menyapa gendang telinga. Dengan nuansa keceriaan masa SMA, dengan kekonyolan dan ledekan khas anak putih biru. Sampai di sepuluh detik terakhir, terucapkan jua kabar itu. Kabar yang pada detik pertama samar maknanya. Hingga dia memastikan kata "ya".
Sepuluh menit pembicaraan saat itu menggenapkan kisah sepuluh tahun lalu. Membuatku mengerti bahwa titik akhir itu tengah terjadi. Keputusan telah dijatuhkan. Pilihan telah ditetapkan. Dan ada sebagian diriku yang gamang. Untuk sehari semalam rasa itu menyakitkan. Untuk kemudian aku berhenti merasa tersakiti. Aku sadar bukan dalam kapasitasnya aku merasa terluka. Aku pun mampu merelakan.
Sekian detik tadi, ponselku menampilkan pesan pendek darinya,
"aku tau ada seseorang di sana yang kamu sayangi, dan di matamu ga ada aku lagi, Nes...."

20 Oktober 2008

BT

Bete sekali, udah nulis banyak-banyak, eh malah kehapus, jadi malas untuk mengulang... Mungkin lain kali saja, fhhh....

13 Oktober 2008

Menulis, lagi

Rasanya lama sekali aku tidak menulis. Baik di blog, maupun di buku harian konvensional yang kumiliki. Semalam, kupastikan bahwa hari ini aku harus mulai kembali menulis.
Waktu bergulir dengan cepat. Dan ada begitu banyak hal yang terjadi. Ramadhan, buka bersama, mudik, idul fitri, silaturahmi, dan reuni.

Di titik ini, aku kembali pada siklus sehari-hari, kuliah, bekerja di kantor Senat, kursus filsafat, dan mengajar.

Kehidupan sosial, keluarga, kerabat, perkawanan, dan sederet label manusia-manusia yang kukenal bermunculan, beberapa orang baru, sisanya muncul dari masa lalu. Membangkitkan kenang dan rindu....