26 Januari 2009

hidup dan mimpi

Eiji Yoshikawa dalam novelnya Musashi melalui tokoh Takezo mengatakan betapa penting dan istimewanya terlahir sebagai manusia. Dan pada saat hampir mati, Takezo mengakui ia mengerti apa artinya hidup.

Aku pun jadi tergoda untuk berpikir, apakah untuk mengerti hidup manusia harus menempuh mati lebih dulu? Apa sebenarnya yang kita cari, apa sesungguhnya yang kita kejar dalam hidup? Zaman dulu, di Jepang sana orang-orang memilih jalan zen atau jalan pedang.

Sedangkan aku? Aku ingin hidup menjadi lebih baik, untukku dan untuk orang-orang lainnya. Melalui pendidikan dan pengetahuan yang selama ini kutekuni. Melalui sikap dan perbuatan yang selama ini aku pilih. Melalui kata-kata yang kuucapkan dan kutuliskan aku ingin bertumbuh dan berbagi dengan sekelilingku.

Sejak lama aku ngeri pada kebencian atau kesalahpahaman yang menghancurkan perasaan, menghancurkan hubungan, dan mengasingkan orang-orang, satu dari lainnya. Cinta sepertinya terlampau mahal untuk manusia. Bahkan, kehancuran kerap terjadi dengan mengatasnamakan cinta. Pada mulanya aku tak mengerti. Tapi memang hidup manusia tak selalu berarti hitam atau putih.

Namun, di sebalik semua itu, meski tak setiap mimpi menjelma nyata, mimpilah yang kerap memenangkan hati untuk bertahan. Untuk tetap bergerak, bertumbuh dan berbuat, sebisa-bisanya, semampu-mampunya. Di antara sekian mimpi yang menghiasi langit hatiku adalah berpetualang.

Sesunggguhnya, aku senang berpetualang, jiwa dan raga. Petualangan jiwa kerap kulakukan. Bahkan sejak masa kanak-kanak, ketika aku berselancar dengan banyak tokoh cerita sederhana semacam lima sekawan atau sapta siaga. Seiring usia, aku pun menekuni karya Pramoedya, Iwan Simatupang sampai Andrea Hirata. Cerita dari barat dan timur negeri ini pun kumamah dan kucerna, di hati dan di kepala. Mereka tak menggurui, apalagi menghakimi. Melalui pelbagai cerita itu aku banyak belajar tentang hidup dan kehidupan, sosok tak nyata namun efeknya demikian terasa. Persentuhanku dengan sastra merupakan petualangan jiwa yang tak terperikan maknanya.

Sejujurnya, petualangan raga belum banyak kulakukan, suatu saat akan kuusahakan untuk menggenggam kesempatan itu; mengunjungi banyak tempat di pelosok negeri, bahkan di pelosok bumi jika memungkinkan. Ah, alangkah indah jika mimpi menjelma menjadi kenyataan yang terhampar di hadapan.

“Namun, tidakkah mimpi itu sendiri sudah merupakan kekayaan yang telah menjadi suatu kepastian, kawan?” tanya hati kecilku kemudian.

gigi di rahang kiri

Sesuatu yang pada mulanya kukira sebagai sesuatu yang sederhana ternyata tidaklah demikian halnya. Hal itu kusadari pasca pemeriksaan gigi yang kulakukan beberapa waktu lalu. Waktu itu sang dokter gigi berkomentar bahwa deret gigi sebelah kanan lebih bersih dari yang sebelah kiri. Dia pun “ngomel” panjang pendek karena katanya aku menggosok gigi dengan tidak bersih.

Aku membela diri bahwa mungkin deret kanan gigiku lebih bersih karena deret itu yang selalu kugunakan untuk makan. Selama lebih dari dua puluh tahun aku tak menggunakan deret gigi sebelah kiri untuk mengunyah makanan. Sang dokter pun nampak lebih “marah” disertai perintah wajib untuk mulai menggunakan sang gigi di rahang kiri. Katanya, apabila aku tetap dengan kebiasaan makan dengan rang kanan saja, jika suatu hari aku menggunakan kawat gigi, kawat gigi di sebelah kanan akan sering lepas, sedangkan rahang kiriku akan bengkak. Hih, tanpa terasa aku bergidik ngeri. Maka berjanjilah aku pada diri sendiri untuk mengunyah makanan dengan gigi di rahang kiriku.

Nah, sudah lebih dari tiga hari aku melakukannya, dan ternyata itu sungguh tak mudah. Bahkan, pada hari pertama gusiku sampai berdarah karenanya. Mulut terasa kaku, dan gusi menjadi ngilu jika bagian kiri yang kugunakan untuk mengunyah. Makanan pun jadi tak enak seolah tanpa rasa. Payah benar aku makan. Selama ini, waktu makanku relatif lama dibandingkan teman-teman atau keluargaku. Dengan perubahan ini maka waktu makan pun menjadi lebih lama lagi. Fhhh ....

Aku pun teringat kawanku Dewinta yang seorang psikolog, pada ibu-ibu muda yang memiliki bayi di sekolah dia wanti-wanti untuk memberikan makanan yang bisa dikunyah –bukan makanan cair yang diblender dan dihancurkan- pada usia tertentu agar rahang anak menjadi kuat. Selain menguatkan gusi dan gigi, hal ini akan berpengaruh terhadap kesiapan alat artikulasi yang menunjang kemampuan berbahasa sang anak nantinya.

19 Januari 2009

cerita

Hari beranjak senja, entah mengapa aku betah di kantor berlama-lama. Meski sendiri. Meski lelah. Meski ada sedikit jeri yang menyelimuti.

Kemarin aku berjumpa kawan SMA yang sejak lima tahun lalu tak bertemu.
Tak terasa, dan tak percaya rasanya, delapan tahun sudah kami melepas seragam putih abu. Ada kenangan, ada kerinduan, ada banyak kesan yang tak terlupakan bersilangan.

Aku tak ingat persis apa yang terjadi atau isi pembicaraan kami ketika terakhir kali bertemu, lima tahun lalu itu. Namun, nampaknya tidak demikian bagi kawanku. Baru kemarin kuketahui hal itu.

Katanya, terakhir kami bertemu bertahun lalu dia tengah goyah dengan hidupnya, dia bilang saat itu ada kata-kataku yang selalu diingatkanya. aku berkata padanya “kamu masih punya tangan untuk berbuat, mata untuk melihat, dan mulut untuk bicara, yakinlah dengan itu semua kamu bisa hidup dan menghidupi dirimu.” Dari situ dia pun punya sejumput mimpi yang kini telah menampakkan diri.

Namun, kini mimpi lain menghampiri, dan dia datang kembali. Kali ini entah bicara apa aku kepadanya. Hanya saja, aku senang dia tampak berwajah cerah ketika punggungnya menjauh dari hadapku. Mungkin, ketika suatu hari aku bertemu dengannya lagi, ia akan mengingatkanku tentang apa saja kata-kata yang telah kulontarkan kepadanya.

hm, masa lalu memang begitu jauhnya…
namun kadang begitu terasa indahnya…