22 Desember 2011

Ibu

Ini "Hari Ibu" kesekian yang kualami. Bedanya, sekarang aku telah menyandang gelar kehormatan tersebut, yakni berstatus sebagai seorang "ibu". Menjadi ibu merupakan proses menjadi yang tiada henti bagiku. Serasa terus menerus bermetamorfosa dari waktu ke waktu. Lebih ramai dari sekadar guliran perasaan yang beraroma nano-nano (manis-asam-asin).
Menjadi seorang ibu telah mengenalkanku pada aku yang lain. Pada aku yang seolah terbelah namun tetap satu. Aku yang satu dalam diriku. Aku yang lainnya dalam jiwa anakku.

Menjadi ibu membuatku menjadi, setiap hari, setiap waktu.

Meski Hari Ibu hanya hari ini, kasih ibu membanjir tak kenal hari. Meski Hari Ibu hanya hari ini, doa ibu mengalun sepanjang waktu. Meski Hari Ibu hanya hari ini, sayang ibu selalu tulus, selalu, dan selalu.

08 Oktober 2010

Gamang


Aku menulis ini ketika Elang, bayiku yang berusia hampir 2 bulan dalam gendongan. Dia tertidur sekarang. Beberapa saat tadi, matanya yang berbinar cemerlang bersitatap dengan mataku. Ada selaksa rasa berkecamuk di sana. Matanya yang menyimpan sejuta pengharapan, memendam asa kehidupan berselubung ketidakberdayaan yang keseluruhannya seolah-olah ia serahkan padaku. Hidup-matinya, sehat-sakitnya, pintar-bodohnya, baik-buruknya, keseluruhan dirinya. Semua itu membuatku merasa tak berdaya sekaligus merasa berharga-karena mendapat karunia dengan kehadirannya-.

Aku gamang. Masa cutiku menjelang usai. Pekerjaan pun menantiku. Satu sisi diriku merindukan dunia kerja dan segala hiruk-pikuknya. Namun, di sisi lain aku tak ingin melewatkan masa-masa awal tumbuh kembang bayiku. Elang, yang sekarang pandai mengoceh membuatku enggan meninggalkannya. Apalagi di usinya yang belum dua bulan ini dia sudah pandai tengkurap dan mengangkat kepalanya. Setiap hari ada saja hal baru yang menakjubkan dibuatnya.

Aku pun terpekur jadinya. Gerak langkahku kini tak hanya untukku, tapi juga untuknya. Tentu saja aku tak bisa memenuhkan diri Elang, jika aku pun tak mampu memenuhkan diri sendiri. Dengan keberadaannya, aku belajar lebih banyak tentang kasih sayang, tentang pengorbanan, tentang keikhlasan, tentang hasrat dan ambisi,tentang kepuasan, yang kumaknai secara lebih mendalam.

Melihat ternyata memang tak sama dengan mengalami. Selama ini aku banyak menemui ibu muda yang bekerja. Mereka berjibaku dengan waktu, demi diri, dan demi sang buah hati. Kini, aku merasakan sendiri, bagaimana kini aku melangkah dan membawa diri tak hanya memikirkan kepentingan sendiri. Aku menyadari keberadaan Elang tak menyurutkan ke-aku-anku sebagai pribadi. Aku punya mimpi-mimpi yang ingin kuraih, aku punya ambisi yang berusaha kucapai, aku memiliki cita-cita yang tetap kuperjuangkan. Dan di atas semua itu, aku pun sepenuhnya sadar, bahwa kasih sayang dan keseluruhan diriku akan selalu meliputi Elang, anakku, yang kelak, di suatu hari nanti memiliki mimpi-mimpinya sendiri.

Kamis pagi, 30 September 2010

20 Juli 2010

Selaksa Rasa

Suatu ketika pernah kubaca bahwa manusia cenderung enggan keluar dari zona nyaman dan menghadapi tantangan baru. Rasa asing, khawatir, cemas terhadap segala sesuatu yang tidak pasti dan tidak diketahui membuat manusia tak berdaya.Mungkin rasa itulah yang melingkupi hari-hariku belakangan ini.Setelah trisemester pertama dilalui dengan morning sickness yang meletihkan. Lalu terselip jeda trisemester kedua yang cukup menenangkan. Menjelang akhir trisemester ketiga ini perasaanku dilanda galau yang tak karuan.
Kondisi fisik mulai menuai banyak keluhan. Emosi yang kadang tidak stabil dan kerap mengalami perubahan. Juga gumpalan rasa khawatir terhadap segala hal yang mungkin datang menjelang masa persalinan.
Menurut perhitungan, tepat di hari ini, tiga puluh enam minggu sudah janin berada dalam kandunganku. Kata dokter, persalinan biasanya terjadi setelah minggu ke-40. Itu pun bisa mundur, atau maju dari tanggal yang diprediksikan. Hanya Tuhan yang tahu, kapan sang bayi akan memperlihatkan diri di haribaan bumi.
Do'aku, semoga selamat hingga tiba waktunya...

11 Februari 2010

Jeda

Tujuh purnama sudah berlalu sejak aku mempertahankan tesisku pada ujian sidang Juli tahun lalu. Tiba-tiba saja aku teringat pesan seorang dosen pembimbing akademik, yang juga pembimbingku dalam menyusun tesis waktu itu. Pesan itu hampir-hampir kuserupakan dengan amanat, atau bahkan wasiat. Yang pasti, aku menyimpannya sebagai janji yang akan kutunaikan. Bukan janji pada guru-ku itu, tapi janji pada diriku sendiri bahwa sekecil apapun ilmu yang kudapatkan -terutama ilmu pengetahuan dari dosenku yang satu itu tentu saja- akan kuperdalam, kuberdayakan, kuperkembangkan, kusebarkan ke sebanyak mungkin manusia demi kehidupan yang lebih baik, yang lebih berarti, yang lebih bermakna. Aku percaya pencerahan manusia bisa dicapai melalui jalan ini.
Namun, sejujurnya aku malu. Aku malu karena sampai saat ini aku belum mampu merealisasikan pesan dan arahannya -yang sudah merupakan janjiku sendiri- agar aku konsisten meniti jalan ilmu pengetahuan. Rasa malu itu muncul bukan karena aku merasa tak mampu, tapi karena aku belum mencoba untuk melakukannya. Aku merasa kosong. Merasa memiliki utang yang belum juga sempat kubayar.
Lalu, aku menemukan kata aku. Jeda. Ya, jeda. Mungkin selama ini aku terlalu keras kepada diriku sendiri sehingga aku malah terbelenggu. Aku lupa bahwa diriku pun perlu jeda. Aku lalai untuk menikmati waktu luang yang selayaknya kuberdayakan untuk menabung energi dan menyuplai gagasan. Aku perlu sedikit bersantai agar pikiranku segar dan terbuka terhadap banyak hal. Hingga di suatu hari, aku siap kembali berkarya dengan cemerlang, entah di ranah apa, atau melalui media apa. Semoga.

05 Februari 2010

aku . . .

Belum lama menjalani peranku sebagai seorang istri, hitungan bulan berikutnya aku mesti belajar menjadi ibu. Ya, ibu untuk janin dalam kandunganku. Senang, tentu saja. Namun, di sebalik itu semua aku banyak mendapatkan konsekuensi.
Mulanya aku merasa tak tahan karena kekerapanku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Saking seringnya sampai sehari aku bisa bolak-balik lebih dari lima belas kali. Hal itu sangat mengganggu, terutama ketika aku berada dalam perjalanan dengan menggunakan sarana transportasi umum. Sampai-sampai aku sering minta berhenti meski belum sampai tempat tujuan.
Konsekuensi berikutnya menimpa wajahku, berupa jerawat yang muncul dan tak kunjung habis. Ibaratnya hilang satu tumbuh sepuluh. Wah, jangan tanya mumetnya. Kata orang kalau hamil jadi tambah cantik, kok aku malah jerawatnya yang membukit, hiks... hiks.
Lalu, masalah "standar" yang dialami hampir semua perempuan hamil: mual-muntah. Fhhh.... betapa tak nyamannya, gak enak makan, malas minum, perut begah, kepala pusing, badan letih, lemah, lesu, dan sebagainya. Bawaannya pengen bed rest melulu.
Dan yang paling merepotkan di antara semua itu adalah intensitas air liur yang meningkat entah berapa kali lipat, sehingga aku harus membawa kantong plastik jika bepergian plus tisu ekstra banyak. Belum lagi di saat menjelang tidur atau kalau harus bicara dengan orang lain. Wuihhhh repotnya....
Namun, di atas semua itu, aku kembali belajar untuk semakin meningkatkan kesabaranku, mengabaikan keegoisanku. Aku membentuk diri menjadi manusia baru, demi manusia lain yang tumbuh dalam rahimku: anakku. (Sesungguhnya, jauh di lubuk hatiku aku masih belum percaya, benarkah ada sosok mungil yang bertumbuh bersama diriku, menghirup udara yang sama, mencium aroma yang sama, menyerap nutrisi makanan yang sama, hidup dalam tubuh yang sama).

13 Desember 2009

aku dan catatan harianku

Ternyata, aku tak cukup konsisten untuk menulis di blog-ku ini. Walau begitu, aku cukup intens menulis di buku harian konvensionalku yang berwarna biru, yang tebal, dan karenanya belum harus diganti meski telah menampung catatan harianku sejak September 2007 lalu.
Oh, ya, aku menulis catatan harian sejak Kelas 2 SMP, dan buku-buku itu masih kusimpan sampai sekarang. Oleh karenanya, pasangan hidupku punya cukup banyak referensi otentik tentang diriku dari buku-buku itu. Sayangnya, dia tidak memiliki kebiasaan yang sama, sehingga aku harus puas dengan kisah kehidupannya pada masa lalu melalui sudut pandangnya saat ini. Kalau dipikir-pikir sepertinya kurang adil, ya?
Kembali pada kebiasaanku menulis catatan harian, aku sungguh heran mengapa aku mandeg menulis, padahal belakangan ini tak kurang-kurang pengalaman atau momen-momen penting yang kualami. Sebut saja proses penyelesaian studi magisterku yang menguras cukup banyak energi -dan tentu saja materi-, persiapan dan pelaksanaan pernikahanku dengan Ari tak lama setelah aku maju ujian sidang untuk mempertahankan tesisku.Kondisi dan suasana tempatku bekerja yang fluktuatif.
Hm, belum lagi pengalamanku sebagai pasangan baru dengan segala lika-likunya, fhhh....rame rasanya, sodara-sodara! Ada manis, asam, asin, dll (kaya permen aja, heheh).

Sekarang ada cerita baru pula. Ini tentang gigi. Ya, gigiku yang waktu kecil dulu kurang terawat dengan baik sehingga kini perlu perawatan ekstra. Sebenarnya aku agak khawatir tentang ini. Hm, mudah-mudahan saja segalanya berjalan dengan baik dan aman. Semoga.

24 September 2009

Lebaran

Hari ini 1 Syawal 1430 H yang bertepatan dengan 20 September 2009. Tahun-tahun berganti. Dan setiap hari ini tiba, masyarakat muslim menyambutnya dengan istimewa. Demi Idul Fitri atau lebaran, orang rela berlelah-lelah mudik ke kampung halaman, orang bersedia berdesak-desakan di pasar atau di terminal . Lalu, apa sebenarnya arti lebaran bagi setiap orang. Mudikkah? Ketupat dan oporkah? Solat ied-kah? Baju baru? Atau apa?
Saat ini aku sendiri merenungkannya. Untukku sendiri, antusiasme dan kesan hari Lebaran relatif menurun setiap tahunnya. Pada masa kanak-kanak aku demikian bersemangat menyambutnya. Saat remaja setidaknya aku masih punya antusiasme yang cukup besar meski tak seperti sebelumnya. Kini, entah mengapa rasa dan hasrat itu tak ada lagi. Sejujurnya, aku rindu pada perasaan itu. Rasa penuh, rasa syukur, rasa bahagia yang ah aku tak mampu menguraikannya dengan kata-kata.
Aku pun bertanya-tanya. Aku-kah yang telah berubah, atau keadaan sekelilingku yang berbeda. Ataukah kedua-duanya kini tak lagi sama. Adakah orang-orang juga merasakan hal serupa? Sekali lagi, entahlah…
(kutulis seusai sholat ied di rumah, saat ortu dan adik2ku berkunjung ke rumah saudara.)