31 Juli 2008

Akhirnya


Akhirnya, aku nonton film The Dark Knight juga. Selasa sore lalu, sepulang kerja aku langsung berburu tiket ke Blitz sana. Mumpung masih nomat juga, hehe....

Emang film-nya bagus sich, tapi mataku pegal juga nonton lama-lama. Aku bisa mudik dengan tenang nich kalau udah nonkrongin hero yang satu ini. Btw, aku belum bisa nulis banyak komentar bagusnya di mana atau kurangnya film ini apa. Namun, aku masih merasakan dag-dig-dug dadaku waktu dua kapal yang masing-masing berpenumpang warga sipil dan narapidana bisa saling melenyapkan dengan menekan pemicu bahan peledak. Namun, ternyata keduanya "masih" memiliki rasa kemanusiaan, meminjam istilah Pram, kedua kelompok penumpang kapal tersebut mempunyai perikemanusiaan yang unlimited. Mereka tidak surut mengalami pendangkalan kemanusiaan yang terbatas pada hal tertentu (misalnya predikat narapidana) sebagai jalan mudah dan tidak bertanggung jawab untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok.

29 Juli 2008

Kemarin

Entah sudah berapa kali aku mengalami hal yang serupa, dan tetap luput untuk menghindarinya: menumpuk pekerjaan yang akhirnya harus dilakukan dalam waktu yang mepet dengan berbagai deadline pekerjaan yang tidak hanya satu.
Kemarin sore peristiwa itu terulang lagi. Pasalnya, hari ini aku harus menyerahkan dua bab sampel buku kepada penerbit dan sebuah risalah rapat sebanyak 5-7 halaman yang harus kusarikan dari 50 halaman transkripsi rapat tersebut.
Sialnya, kemarin sore aliran listrik di kantor mati entah karena kerusakan apa. Jadilah aku tak dapat mengerjakan apa-apa. Menjelang pukul tiga sore aku pun memilih pulang ke kosan. Baru menyelesaikan kerangka tulisan untuk buku, seorang teman menelponku. Dia mengajak hangout ke kafe dan menikmati secangkir kopi.
Tiba-tiba aku teringat hasratku untuk menonton film terbaru Batman, The Dark Knight. Temanku setuju untuk nonton. Kami pun janjian untuk nonton pukul 5. Sayang, sesampainya di Blitzmegaplex kami kehabisan tiket. Film Wanted pun jadi pilihan.
Lepas nonton kami ngopi sampai sekira pukul 10 malam. Pulang ke kosan aku begadang menyelesaikan buku, lumayan yang satu bab bisa selesai sekitar 80%. Pukul 03 dini hari aku jatuh tertidur. Sementara pagi harinya aku harus ngantor seperti biasa.
Dan siang ini aku berhasil menyelesaikan dua bab buku-ku. Risalah rapat bisa menunggu sampai besok. Hm, aku bersyukur karena tetap bisa menikmati acara nonton dan hangout-ku tanpa perasaan takut tak dapat menyelesaikan pekerjaan semalam.
Anyway, aku tetap penasaran nonton Batman.

26 Juli 2008

Visi Misi



Aku menuliskan catatan ini, ketika waktu menunjukkan pergantian hari, pukul 24.00. Kantuk yang tak kunjung datang memberiku kesempatan untuk mengingat-ingat kembali kegiatanku seharian itu. Tiba-tiba aku mengingat percakapan tentang ruh dalam bertindak dan berbuat.

Entah mengapa, dalam pikiranku tiba-tiba terlintas kegiatan pengukuhan untuk menjadi anggota suatu UKM di kampusku ketika aku menjadi mahasiswa strata 1 dulu. Kegiatan itu bernama Visi Misi.

Segalanya diawali dengan keikutsertaanku pada kegiatan Training Pers dan Jurnalistik Mahasiswa. Waktu itu seorang teman di asrama yang juga kakak tingkat di kampus mengajakku untuk mengikuti pelatihan tersebut, sebut saja Nona A. Setahuku, Nona A ini mengikuti pelatihan tersebut dengan motif "purba". Ya, Nona A kawanku itu mengikuti pelatihan karena sedang dekat atau sedang suka –entahlah, aku tak begitu ingat persisnya- dengan seseorang yang kebetulan menjadi anggota UKM tersebut. Nah, jadilah aku dibujuknya untuk mengikuti pelatihan dengan misi pendekatan ini.
Ada kebetulan yang lain lagi perihal keikutsertaanku pada TPJM itu. Posisiku sebagai Ketua Bidang Kesekretariatan merangkap Pemimpin Redaksi sebuah Buletin di BEM fakultas membuatku dapat mengikuti TPJM tersebut dengan gratis karena dananya dialokasikan dari anggaran lembaga. Kalau tidak salah ingat, biayanya Rp. 20.000,-. Mengenai hal ini, setidaknya aku tak terlalu merasa berdosa telah menggunakan anggaran BEM karena buletin tersebut dapat diterbitkan, meski hanya dua edisi.

Jika Nona A mengajakku ikut TPJM karena misi pdkt, aku membujuk Rita, teman satu jurusan yang juga tinggal di asrama dengan misi sederhana, ”agar ada teman senasib dan sepenanggungan”. Pengetahuanku mengenai minat Rita untuk masuk ke Fakultas Komunikasi kujadikan andalan untuk membujuknya.

Selama TPJM, aku dan Rita punya hobi sama, memperhatikan kaum adam yang ada di sekitar kami, entah itu peserta atau pun panitia. Namun perhatian kami jatuh berlebih pada satu orang peserta. Namanya Toriq. Dia kerap menekuni kertas dan pensil selama kegiatan berlangsung: membuat sketsa. Usut punya usut, ternyata setiap sosok yang menjadi pembicara pada pelatihan ini mendapat hadiah berupa sketsa wajahnya sendiri yang dibuat oleh sang Toriq ini. Namun, seiring berakhirnya TPJM, berakhir pula perhatian terhadap sosok yang satu ini. Belakangan kudengar kabar, dia kerap memamerkan sejumlah karya seni rupanya di beberapa tempat.

Di akhir pelatihan, panitia mengumumkan bahwa bagi peserta yang berminat untuk masuk menjadi anggota UKM tersebut dipersilakan untuk berkumpul di sekretariat mereka beberapa hari kemudian (aku tak ingat lagi nich persisnya kapan).

Motif ketuntasanlah mungkin yang menggerakkanku untuk tetap menghadiri pertemuan tersebut –dengan Rita tentu saja-. Serangkaian kegiatan pelatihan lanjutan pun kami ikuti. Kami pun diberi informasi bahwa keseriusan kami untuk menjadi anggota akan direalisasikan dalam kegiatan visi misi. Saat itulah pertama kali aku mendengar kegiatan dengan nama seperti ini. Begitu mendengar nama kegiatannya, aku pun bertanya-tanya mengenai pemilihan nama kegiatan, sampai bentuk kegitannya. Dugaanku sementara itu, mungkin sejenis PAB atau LDKM di Himpunan Mahasiswa. Beberapa anggota UKM tersebut, entah iseng atau bercanda menakut-nakuti kami dengan melontarkan kata-kata tentang adanya lumpur, tentang jurit malam, tentang tamparan, tentang tali, dan lain sebagainya.

Pada sepertiga tahun 2004, sekitar bulan Oktober, aku, Rita, dan seorang mahasiswa dari fakultas yang berbeda -kalau tak salah namanya Tomi- bersiap mengikuti kegiatan visi misi. Waktu itu kami diminta untuk membuat berbagai tulisan, seperti berita, feature, dan jenis tulisan lainnya dengan menggunakan mesin tik. Mesin tik inilah yang merepotkan kami. Pada masa itu, benda tersebut sudah jarang ditemui. Tak ada rental mesin tik yang bisa kami datangi. Untungkah seorang teman di asrama berbaik hati mengusahakannya. Meski bersusah payah dalam proses pengetikannya, toh tulisan-tulisan tersebut dapat kuselesaikan juga, dengan kualitas seorang pemula yang bisa dibilang apa adanya.

Akhirnya, kepenasaranku mengenai kegiatan visi misi terjawab jua. Di ruang yang disebut-sebut sebagai IP Control Room yang gelap tanpa listrik (kebetulan saat itu terjadi pemadaman aliran listrik) dengan lilin-lilin yang membuat efek menyeramkan pada bayangan setiap orang di ruangan itu, membuat kami –terutama aku- merasa terintimidasi secara psikologis.

Pada tahap pertama, aku mendefinisikan kegiatan visi misi sebagai pelajaran mengenai tanggung jawab. Secara spesifik mengenai tanggung jawab seorang penulis terhadap apa yang ditulisnya. Separuh dari kegiatan visi misi tersebut dihabiskan dengan bertanya jawab seputar tulisan -media- yang kami buat. Aku dicecar dengan banyak pertanyaan.
Di sepertiga acara, menjelang dini hari waktu itu, aku, Rita, dan Tomi ditanya mengenai ekpektasiku terhadap UKM tersebut. Kalimat-kalimat "ingin bisa menulis", "ingin pandai membidikkan kamera", "ingin jadi jurnalis", berhamburan kala itu.

Mereka (anggota senior) pun berbicara bahwa UKM tersebut tak kan bisa memberikan kemampuan apa-apa kepada kami. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa UKM tersebut ada bukan untuk dirinya sendiri.

Tanya lain pun muncul dalam diri. Kalau demikian adanya, mengapa UKM tersebut harus ada, untuk apa?

Pertanyaan tersebut, juga diskusi sebelumnya menuntunku untuk menemukan jawabannya. Orang-orang yang berkesempatan dan bersungguh hati mengikuti visi misi di UKM ini akan menemukan jawabannya.

Pada tahap ini, aku pun menyadari bahwa kegiatan visi misi tersebut ”tak lebih” dari ”sekedar” penyelarasan visi misi lembaga dengan visi misi anggota yang berketetapan hati untuk menerjunkan diri ke dalamnya.

Sebelum mengambil keputusan, berkali-kali aku ditanya mengenai keseriusan komitmenku untuk bergabung menjadi awak UKM tersebut. Berbagai kemungkinan ”buruk” sebagai konsekuensi apabila aku bersikukuh menjadi anggota pun terlontar satu per satu. Mulai dari kelelahan fisik, kesulitan membagi waktu antara kewajiban kuliah dengan tanggung jawab di lembaga, melakukan reportase, menulis berita, mengelola media, keharusan untuk memenuhi deadline, friksi-friksi organisasi, dan seribu satu macam persoalan lainnya.
Pada akhirnya mereka memperingatkan aku dengan suatu pernyataan yang tetap kuingat dan kerap kali terlontar setiap kegiatan visi misi digelar: "Sekali terpikat, selamanya terjerat".

Pernyataan tersebut debateble tentu saja. Mengingat sedikit sekali dari individu-individu yang menyatakan diri siap bergabung menjadi anggota mampu bertahan hingga akhir di UKM ini. Beberapa kemungkinan ”buruk” sebagaimana yang telah diwanti-wantikan para anggota senior ketika visi misi memang terjadi. Ada saat di mana aku pun tergoda untuk ”pergi”. Namun, di titik akhir aku menyadari, bahwa ruh visi misi itu bertahan sampai kini.

Oh, ya, sebelum kuakhiri catatan ini, perkenalkan, nama UKM tersebut, "Unit Pers Mahasiswa".


25 Juli 2008

Rujak Party


Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan kebiasaan yang satu ini. Sampai kemarin, ketika aku datang ke sekolah pada jam istirahat untuk makan siang, hidungku mencium aroma khas itu lagi. Lalu tampaklah beberapa buah mangga muda yang masih mengkal lengkap dengan bumbu rujaknya.

Pertengahan Juni lalu, ketika diselenggarakan rapat kerja tahunan, menu rujak plus bumbunya yang pedas manis beraroma khas menjadi kudapan kami. Bengkoang, pepaya, nanas, mentimun yang diguyur sambal kacang atau bumbu rujak standar menjadi penyegar suasana di tengah-tengah rapat yang lumayan menguras otak.

Minggu berikutnya, atau memasuki minggu terakhir bulan Juni. Pada saat kami mengikuti kegiatan kursus bahasa Inggris di sebuah lembaga, di suatu siang lagi-lagi sang rujak menjadi menu utama pesta kami. Selain beberapa jenis buah yang dibekal dari rumah, mangga muda yang masih nangkring di pohonnya pun (padahal pohon mangga itu tumbuh di tempat kursus lho...) kami jadikan korban persembahan rujak party saat itu (atas seizin pemiliknya tentu saja). Jadilah kami berseuhah-seuhah ria kepedasan.

Lalu, pada hari Sabtu yang lalu di Lembang sana, dalam rangkaian kegiatan MOS yang bertajuk The Erasmus Days, kami tak bisa tidak mengadakan kegiatan serupa. Ya, rujak party itu lagi. Selepas melakukan perjalanan yang lumayan menguras keringat, pada saat siswa-siswi mendapat alokasi waktu untuk membersihkan diri. Kami, para mentornya tak menyia-nyiakan kesempatan. Sambil menunggu giliran mandi (untuk yang berniat mandi tentu saja) acara rujak party pun digelar. Bahkan waktu itu dengan menu buah yang lebih lengkap, sebut saja pepaya, nanas, bengkuang, sampai sambal “honje’ dengan aroma yang khas itu. Nik-nik yang lulusan Jurusan Kimia berkeras bahwa aroma “honje” tersebut mengingatkannya pada zat kimia tertentu. Namun, interupsi sang ahli kimia tak mendapat respon berarti, karena tak satu pun dari kami yang rela melepas kesempatan untuk berpartisipasi dalam rujak party.

Saking asyiknya menikmati rujak, pada foto di atas sampai-sampai rujaknya gak kelihatan, selain Bunda Nina yang tampak sedang mengiris nanas. Inilah anggota rujak party searah jarum jam dari mulai si mungil Syifa, Baety, aku sendiri, Bunda Nina, Tina, Asep, Aya, Vindy, dan Yuni. Beberapa anggota rujak party yang lainnya, ada Rima yang jadi fotografer sehingga tampangnya gak ikut nongkrong; Boyke yang kebagian tugas menyisir sisa-sisa penunjuk jalan pada kegiatan perjalanan sebelumnya; Iwan sedang izin karena sakit; sedangkan Rani, Danis, dan Bu Dian sedang mendampingi siswa-siswi Secondary 2 yang sedang homestay di Malaysia-Singapura sana.


24 Juli 2008

Kisah Pagi

Hm, lumayan panas siang ini. Padahal tadi pagi rasanya udara menggigit tulang, tubuhku dingin sekali. Sampai-sampai kakak tingkatku yang mau ujian sidang tahap 2 merinding begitu berjabat tangan denganku. Demikian halnya dengan Bu Imas petugas di gedung pascasarjana yang membawa nampan berisi penganan sebagai konsumsi ujian sidang, bergidik tanda kedinginan begitu jemariku kuletakkan di tangannya.

Target kerjaku siang ini sedikit berubah. Setengah hari tadi aku mendengarkan tentang problema keluarga plus kekesalan seorang ibu, istri, tante sekaligus sebagai seseorang yang berkarir. Katanya, persoalan hidup tak pernah habis-habisnya. Dia bahkan bertanya apakah aku kenal dengan psikolog atau sejenisnya.
Dia berkali-kali berkata, tepatnya bertanya pada dirinya sendiri, apakah sikap dan pandangannya salah; apakah dia yang tidak benar dalam memperlakukan keluarganya?
Aku pun menjadi pendengar setia.
Tiba-tiba aku teringat bacaanku semalam. Dalam Hoakiau di Indonesia Pramoedya Ananta Toer menulis "Hidup adalah tantangan bagi setiap orang untuk berbuat dan berlaku benar." Ya, terlepas dari segala macam persoalan dan masalah yang menghadang, bahkan kesalahan sekalipun.

23 Juli 2008

Nangka Oma

Bagiku, mengenang bukanlah berpanjang angan. Ada banyak hal pada masa kini yang mengingatkan kita pada masa lalu, apakah itu selembar foto, sebentuk gantungan kunci, kartu ucapan selamat ulang tahun, segenggam bunga edelweis, atau hanya sebiji buah nangka.

Ya, sebiji buah nangka yang aromanya menggoda selera itu mengingatkanku pada seorang teman di bangsu sekolah dasar dulu. Namanya Oma. Sama sekali bukan panggilan “oma” yang bersinonim dengan “nenek”. Namanya memang Oma, lengkapnya Oma Masitoh. Kawan-kawan di kelas kadang mengolok-oloknya dengan panggilan Oma Irama.

Sosok Oma dalam memoriku terekam sebagai anak perempuan berpostur tinggi besar –dalam persepsiku yang masih siswa SD kelas II waktu itu- namun memiliki sorot mata nanar. Sorot mata itulah yang masih kuingat kuat sampai sekarang. Sorot mata coklat yang lugu namun keras hati. Menyimpan kekuatan tekad meski tampak menyembunyikan kegetiran. Dia berkulit gelap, dengan rambut tipis sebahu dan berwarna agak coklat yang terlihat lengket. Dia tidak pernah banyak bicara. Mulutnya hanya sesekali saja terbuka untuk bersuara.

Nangka mengingatkanku pada Oma karena buah yang satu ini demikian lekat dengan sosoknya. Dalam bungkusan plastik ukuran seperempat kilo gram terdapat sekitar sepuluh biji buah nangka yang dijualnya seharga Rp. 50,- waktu itu. Setiap kali berangkat sekolah Oma membawa satu atau dua kantong plastik hitam ukuran paling besar yang penuh bungkusan buah nangka untuk dijual kepada kami, teman-temannya, atau guru-guru kami di sekolah.

Tak seperti biasanya, suatu kali Oma pernah bercerita padaku tentang kebiasaannya. Setiap hari sehabis solat subuh, dia langsung membawa baju seragam putih merah-nya, buah nangka dagangannya, serta perlengkapan sekolah tentu saja. Selama tiga puluh menit dia turun gunung- dalam arti sebenarnya- sampai mencapai sungai. Di sungai itulah dia mandi dan kemudian berganti pakaian dengan seragam untuk melanjutkan perjalanan selama tiga puluh menit lagi menuju sekolah. Saking jauhnya tempat tinggal kawan masa kecilku yang satu itu, sampai-sampai aku dan teman sekelas menyebut daerah tempat tinggalnya dengan nama “Banen”. Sampai sekarang aku tak yakin apakah nama “Banen” tersebut merujuk pada nama desa, kampung, atau perbukitan. Namun karena aku pindah sekolah, selain cerita itu, tak banyak lagi kuketahui tentang dirinya.

Kukembalikan saja kenanganku pada buah nangka, yang sudah lama sekali aku tak berkesempatan menikmatinya. Dan lebih lama lagi aku tak bersua dengan kawanku Oma penjual nangka. Entah bagaimana kabar dirinya di “Banen” sana. Ah, rindunya....

Asa

hari-hari,
mimpi,
janji,
sunyi,
arti,
menjadi,
ekspektasi,
:seni

kata-kata,
bahasa,
rasa,
cinta,
makna,
keluarga,
:mengada pada dunia

22 Juli 2008

Pengamen

satu sisi
Kehadiran sosok pengamen bukanlah suatu hal yang asing. Dulu, ketika aku masih kanak-kanak, ada saat-saat tertentu ketika seorang pengamen datang menyambangi rumah, menyanyikan sepotong lagu, dan kemudian berlalu ketika beberapa rupiah telah disodorkan orang rumah kepadanya.
Sejak sekira enam tahun terakhir, kudapati intensitas kehadiran pengamen semakin tinggi. Di depan kosan, di terminal, di setiap angkot yang kunaiki, di bus kota, dan bus antarkota tentu saja. Buatku, kehadiran mereka lebih banyak mengganggu daripada menghibur. Aku pun sering memilih untuk tak terlalu mempedulikannya.
Sampai beberapa waktu lalu, perjalananku ke rumah diwarnai beberapa hal yang bersinggungan dengan penyanyi jalanan ini. Waktu itu aku dalam perjalanan menuju kota kelahiranku, ketika bus yang kutumpangi mulai memasuki gerbang tol Pasir Koja menuju Padalarang, sekitar dua orang pengamen menyumbangkan suaranya. Aku tak yakin benar mengenai jumlah mereka, karena begitu kuhempaskan badanku di kursi bus, aku tenggelam dalam duniaku sendiri, dalam kekusutan pikiranku saat itu, aku berusaha untuk tidur-upayaku bermula ketika aku mengatupkan kelopak mata yang terasa lelah.

Nyanyian pengamen memenuhi udara. Pikiranku terganggu lengkingannya, gesekan biola yang sebelumnya selalu kusuka, tak lagi memanjakan telinga. Kalau menuruti kata hati, ingin rasanya aku mengusir mereka pergi. Tapi.., aku menahan diri.

Ketika entah berapa lama segala bunyi itu berhenti; dan samar kudengar gemerincing kepingan uang logam terkumpul dalam kantong plastik bekas permen sang pengamen dengan frekuensi yang jarang sekali. Ketika aku tak bereaksi terhadap kantong dihadapanku -mataku tetap terpejam saat itu, namun aku dapat merasakannya- kudengar sang pengamen berkata, "Anjing kabeh jigana, euweuh jelema."
Darahku mendidih ketika itu. Namun aku menggigit bibir sendiri untuk meredam amarah. Hatiku panas sekali mendengar ocehan itu. Namun, entah bagaimana ada rasa perih dan takut yang menyelimuti. Apakah mereka marah karena tak ada uang untuk sarapan? Pening kepalaku menjadi. Tak kukira, intimidasi verbal demikian mampu membuatku begitu menderita.
Tak berapa lama, suara biola tanpa vocal manusia kembali terdengar; untuk sekira sepuluh menit aku tersiksa. Kata-kata pedas yang dilontarkan pengamen -yang disemburkan tepat di depan wajahku- demikian dalam membekas; sehingga lengking biola tak lagi punya makna saat itu. Untunglah sang kondektur menyelamatkan deritaku dengan membagikan karcis dan menarik ongkos.

sisi lainnya
Sag pengamen bersinggungan lagi dalam duniaku. Kali ini dia menyajikan fragmen yang berbeda. Saat itu aku menumpang bus kota dari Leuwi Panjang sana. Sebagaimana biasanya, bus penuh sesak, lorong di antara dua baris kursi terisi dengan bangku-bangku cadangan yang diduduki para penumpang, kebanyakan perempuan. Penumpang lainnya berdiri.
Di sekitar kawasan Astana Anyar dua orang bocah pengamen naik bus meski telah dihardik sang sopir. Mereka menyanyi dan menepuk kendang persis di hadapanku. Bocah lelaki berusia sekitar 9-10 tahun, sementara bocah perempuannya kuperkirakan tak mungkin lebih dari enam tahun. Dua bocah itu berpakaian kumal, tanpa alas kaki, dengan daki menempel tebal yang sepertinya lebih dari satu bulan menetap di tubuh mereka.

Aku jatuh kasihan menyaksikan dua anak itu dihardik dengan kejam. Aku juga merasa risih dengan cara kedua nak itu menjual belas kasihan orang. Ketika dua buah lagu berakhir, bocah laki-laki mendorong bocah perempuan untuk meminta perhatian penumpang, karena lorong kursi itu sempit dan padat oleh penumpang sang bocah perempuan hampir tersungkur dibuatnya.

Dalam benak, aku berpikir, kapankah drama ini berakhir?

21 Juli 2008

Otak-atik

otak-atik angka, aku kurang suka
otak-atik elektronik, apalagi
otak-atik uang bulanan, itu keharusan biar gak kelaparan
otak-atik jodoh, aku emoh
otak-atik kata, agak bisa

otak-atik bahasa bikin gaya
otak-atik gaya bikin cinta
otak-atik cinta bikin celaka
otak-atik apa aja,
entahlah!
diotak-atik,
:apa otak itu antik, atau cantik?

Televisi

Di Koran Tempo Edisi Kamis 17 Juli lalu, aku menyimak surat pembaca yang berjudul "Anak-anak Televisi". Disebutkan bahwa Koalisi Nasional Hari Tanpa Televisi (HTT) akan mencanangkan gerakan "Turn Off TV, Turn On Live! Matikan TV dalam Sehari" dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional.
Aku pun mendapati seorang teman yang memasang stiker "Matikan TV-Mu" di dekat tombol on televisinya. Dia beralasan, televisi hanya untuk nonton film yang diputar melalui DVD Player.
Jauh-jauh hari, orang tuaku bahkan tak berniat membeli televisi sejak aku masuk bangku sekolah dasar di tahun 80-an dulu. Televisi hitam putih yang pemutar chanel-nya masih manual dan berlayar BW tersimpan apik di lemari gudang tanpa pernah ditatap apalagi ditonton oleh segenap anggota keluargaku.
Baru belakangan ketika aku berstatus sebagai mahasiswalah pemahaman akan kesadaran dan pilihan orang tuaku untuk mendidik anak-anaknya tanpa televisi tersebut baru menghampiriku.
Ketiadaan televisi digantikan koran, majalah dan tabloid berbahasa Sunda oleh ayahku. Aku dan adik-adikku pun, entah karena kontruksi keadaan yang diciptakan orang tua atau memang keinginan yang timbul dari diri kami terbiasa untuk membaca daripada menonton televisi.
Ibuku di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga dan warung kecil di samping rumah kami menikmati waktu istirahatnya dengan membaca daripada menatap layar kaca yang memang tidak ada.
Adik-adikku yang siswa SD dan SMP pun lebih sering asyik dengan buku yang mereka pinjam dari perpustakaan pemda. Tak tanggung-tanggung, selain buku yang mereka pinjam dari sekolah, mereka memiliki dua kartu keanggotaan perpustakaan pemda: kota dan kabupaten sekaligus. Tak heran mereka selalu punya antrian buku yang harus dibaca setiap harinya.
Anti televisi bukan berarti keluargaku menyepelekan akses informasi dan apresiasi. Berbagai media massa dan siaran radio menjadi alternatifnya. Orang tua dan adik-adiku kerap menikmati siaran dongeng tradisional dan wayang golek melalui radio. Mereka pun menyimak informasi terkini dari media massa.
Anti televisi tidak berarti anti segalanya, buktinya meski terbilang keluarga sederhana, orang tuaku responsif terhadap permintaan komputer untukku, untuk adikku yang juga telah berstatus mahasiswa, juga tak menolak ketika adik lelakiku yang SMP meminta gitar elektrik untuk mengarahkan hobi bermain musiknya.
Sekiranya prestasi akademik dan perkembangan sosial menjadi indikator keberhasilan pendidikan anak tanpa televisi, kupikir tumbuh kembang keluargaku sungguh positif.
Jadi, bukan hanya matikan televisi, tanpa televisi sekalipun tak masalah bagiku.
Hanya mungkin, pacarku yang gila bola kelimpungan karenanya, pasalnya, tanpa televisi dia tidak dapat menyaksikan aksi klub atau pemain bola favoritnya.
Selamat hari anak tanpa televisi!

16 Juli 2008

waktu

detik-detik terlalu kejam padaku
untuk kubagi denganmu

10 Juli 2008

Roti Abon vs Gila

"Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau." Pameo itu mungkin benar juga. Contoh sederhana terjadi ketika Selasa lalu aku menumpang angkot menuju daerah Suci untuk menyerahkan hasil UAS ke sebuah kampus tempat aku mengajar.
Seorang perempuan berkata kepada dua orang temannya (dilihat dari pakaiannya, sepertinya mereka karyawan GSM tertentu), "Kalian perhatikan gak orang gila yang di simpang jalan itu, sejak aku SD tampangnya gitu-gitu aja, ya. Gak pernah berubah."

"Iya, aku juga heran," salah seorang temannya menimpali.

"Kalau begitu, mending jadi orang gila aja ya biar tetap muda, hahaha...," perempuan pertama kembali bicara diakhiri tawa.

"Kamu ini aneh sekali, tadi ingin sakit biar dibelikan roti abon yang banyak, sekarang ingin gila biar awet muda, ada-ada saja," temannya yang lain mengomentari.
Ketiganya pun tertawa, beberapa penumpang lain juga menahan tawa atau sekedar mengulum senyum.

Jangan-jangan, dalam kadar tertentu, orang-orang memang sudah gila, aku berpraduga. Semoga saja, aku tidak ikut-ikutan mereka, hih....