26 Juli 2008

Visi Misi



Aku menuliskan catatan ini, ketika waktu menunjukkan pergantian hari, pukul 24.00. Kantuk yang tak kunjung datang memberiku kesempatan untuk mengingat-ingat kembali kegiatanku seharian itu. Tiba-tiba aku mengingat percakapan tentang ruh dalam bertindak dan berbuat.

Entah mengapa, dalam pikiranku tiba-tiba terlintas kegiatan pengukuhan untuk menjadi anggota suatu UKM di kampusku ketika aku menjadi mahasiswa strata 1 dulu. Kegiatan itu bernama Visi Misi.

Segalanya diawali dengan keikutsertaanku pada kegiatan Training Pers dan Jurnalistik Mahasiswa. Waktu itu seorang teman di asrama yang juga kakak tingkat di kampus mengajakku untuk mengikuti pelatihan tersebut, sebut saja Nona A. Setahuku, Nona A ini mengikuti pelatihan tersebut dengan motif "purba". Ya, Nona A kawanku itu mengikuti pelatihan karena sedang dekat atau sedang suka –entahlah, aku tak begitu ingat persisnya- dengan seseorang yang kebetulan menjadi anggota UKM tersebut. Nah, jadilah aku dibujuknya untuk mengikuti pelatihan dengan misi pendekatan ini.
Ada kebetulan yang lain lagi perihal keikutsertaanku pada TPJM itu. Posisiku sebagai Ketua Bidang Kesekretariatan merangkap Pemimpin Redaksi sebuah Buletin di BEM fakultas membuatku dapat mengikuti TPJM tersebut dengan gratis karena dananya dialokasikan dari anggaran lembaga. Kalau tidak salah ingat, biayanya Rp. 20.000,-. Mengenai hal ini, setidaknya aku tak terlalu merasa berdosa telah menggunakan anggaran BEM karena buletin tersebut dapat diterbitkan, meski hanya dua edisi.

Jika Nona A mengajakku ikut TPJM karena misi pdkt, aku membujuk Rita, teman satu jurusan yang juga tinggal di asrama dengan misi sederhana, ”agar ada teman senasib dan sepenanggungan”. Pengetahuanku mengenai minat Rita untuk masuk ke Fakultas Komunikasi kujadikan andalan untuk membujuknya.

Selama TPJM, aku dan Rita punya hobi sama, memperhatikan kaum adam yang ada di sekitar kami, entah itu peserta atau pun panitia. Namun perhatian kami jatuh berlebih pada satu orang peserta. Namanya Toriq. Dia kerap menekuni kertas dan pensil selama kegiatan berlangsung: membuat sketsa. Usut punya usut, ternyata setiap sosok yang menjadi pembicara pada pelatihan ini mendapat hadiah berupa sketsa wajahnya sendiri yang dibuat oleh sang Toriq ini. Namun, seiring berakhirnya TPJM, berakhir pula perhatian terhadap sosok yang satu ini. Belakangan kudengar kabar, dia kerap memamerkan sejumlah karya seni rupanya di beberapa tempat.

Di akhir pelatihan, panitia mengumumkan bahwa bagi peserta yang berminat untuk masuk menjadi anggota UKM tersebut dipersilakan untuk berkumpul di sekretariat mereka beberapa hari kemudian (aku tak ingat lagi nich persisnya kapan).

Motif ketuntasanlah mungkin yang menggerakkanku untuk tetap menghadiri pertemuan tersebut –dengan Rita tentu saja-. Serangkaian kegiatan pelatihan lanjutan pun kami ikuti. Kami pun diberi informasi bahwa keseriusan kami untuk menjadi anggota akan direalisasikan dalam kegiatan visi misi. Saat itulah pertama kali aku mendengar kegiatan dengan nama seperti ini. Begitu mendengar nama kegiatannya, aku pun bertanya-tanya mengenai pemilihan nama kegiatan, sampai bentuk kegitannya. Dugaanku sementara itu, mungkin sejenis PAB atau LDKM di Himpunan Mahasiswa. Beberapa anggota UKM tersebut, entah iseng atau bercanda menakut-nakuti kami dengan melontarkan kata-kata tentang adanya lumpur, tentang jurit malam, tentang tamparan, tentang tali, dan lain sebagainya.

Pada sepertiga tahun 2004, sekitar bulan Oktober, aku, Rita, dan seorang mahasiswa dari fakultas yang berbeda -kalau tak salah namanya Tomi- bersiap mengikuti kegiatan visi misi. Waktu itu kami diminta untuk membuat berbagai tulisan, seperti berita, feature, dan jenis tulisan lainnya dengan menggunakan mesin tik. Mesin tik inilah yang merepotkan kami. Pada masa itu, benda tersebut sudah jarang ditemui. Tak ada rental mesin tik yang bisa kami datangi. Untungkah seorang teman di asrama berbaik hati mengusahakannya. Meski bersusah payah dalam proses pengetikannya, toh tulisan-tulisan tersebut dapat kuselesaikan juga, dengan kualitas seorang pemula yang bisa dibilang apa adanya.

Akhirnya, kepenasaranku mengenai kegiatan visi misi terjawab jua. Di ruang yang disebut-sebut sebagai IP Control Room yang gelap tanpa listrik (kebetulan saat itu terjadi pemadaman aliran listrik) dengan lilin-lilin yang membuat efek menyeramkan pada bayangan setiap orang di ruangan itu, membuat kami –terutama aku- merasa terintimidasi secara psikologis.

Pada tahap pertama, aku mendefinisikan kegiatan visi misi sebagai pelajaran mengenai tanggung jawab. Secara spesifik mengenai tanggung jawab seorang penulis terhadap apa yang ditulisnya. Separuh dari kegiatan visi misi tersebut dihabiskan dengan bertanya jawab seputar tulisan -media- yang kami buat. Aku dicecar dengan banyak pertanyaan.
Di sepertiga acara, menjelang dini hari waktu itu, aku, Rita, dan Tomi ditanya mengenai ekpektasiku terhadap UKM tersebut. Kalimat-kalimat "ingin bisa menulis", "ingin pandai membidikkan kamera", "ingin jadi jurnalis", berhamburan kala itu.

Mereka (anggota senior) pun berbicara bahwa UKM tersebut tak kan bisa memberikan kemampuan apa-apa kepada kami. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa UKM tersebut ada bukan untuk dirinya sendiri.

Tanya lain pun muncul dalam diri. Kalau demikian adanya, mengapa UKM tersebut harus ada, untuk apa?

Pertanyaan tersebut, juga diskusi sebelumnya menuntunku untuk menemukan jawabannya. Orang-orang yang berkesempatan dan bersungguh hati mengikuti visi misi di UKM ini akan menemukan jawabannya.

Pada tahap ini, aku pun menyadari bahwa kegiatan visi misi tersebut ”tak lebih” dari ”sekedar” penyelarasan visi misi lembaga dengan visi misi anggota yang berketetapan hati untuk menerjunkan diri ke dalamnya.

Sebelum mengambil keputusan, berkali-kali aku ditanya mengenai keseriusan komitmenku untuk bergabung menjadi awak UKM tersebut. Berbagai kemungkinan ”buruk” sebagai konsekuensi apabila aku bersikukuh menjadi anggota pun terlontar satu per satu. Mulai dari kelelahan fisik, kesulitan membagi waktu antara kewajiban kuliah dengan tanggung jawab di lembaga, melakukan reportase, menulis berita, mengelola media, keharusan untuk memenuhi deadline, friksi-friksi organisasi, dan seribu satu macam persoalan lainnya.
Pada akhirnya mereka memperingatkan aku dengan suatu pernyataan yang tetap kuingat dan kerap kali terlontar setiap kegiatan visi misi digelar: "Sekali terpikat, selamanya terjerat".

Pernyataan tersebut debateble tentu saja. Mengingat sedikit sekali dari individu-individu yang menyatakan diri siap bergabung menjadi anggota mampu bertahan hingga akhir di UKM ini. Beberapa kemungkinan ”buruk” sebagaimana yang telah diwanti-wantikan para anggota senior ketika visi misi memang terjadi. Ada saat di mana aku pun tergoda untuk ”pergi”. Namun, di titik akhir aku menyadari, bahwa ruh visi misi itu bertahan sampai kini.

Oh, ya, sebelum kuakhiri catatan ini, perkenalkan, nama UKM tersebut, "Unit Pers Mahasiswa".


Tidak ada komentar: