22 Juli 2008

Pengamen

satu sisi
Kehadiran sosok pengamen bukanlah suatu hal yang asing. Dulu, ketika aku masih kanak-kanak, ada saat-saat tertentu ketika seorang pengamen datang menyambangi rumah, menyanyikan sepotong lagu, dan kemudian berlalu ketika beberapa rupiah telah disodorkan orang rumah kepadanya.
Sejak sekira enam tahun terakhir, kudapati intensitas kehadiran pengamen semakin tinggi. Di depan kosan, di terminal, di setiap angkot yang kunaiki, di bus kota, dan bus antarkota tentu saja. Buatku, kehadiran mereka lebih banyak mengganggu daripada menghibur. Aku pun sering memilih untuk tak terlalu mempedulikannya.
Sampai beberapa waktu lalu, perjalananku ke rumah diwarnai beberapa hal yang bersinggungan dengan penyanyi jalanan ini. Waktu itu aku dalam perjalanan menuju kota kelahiranku, ketika bus yang kutumpangi mulai memasuki gerbang tol Pasir Koja menuju Padalarang, sekitar dua orang pengamen menyumbangkan suaranya. Aku tak yakin benar mengenai jumlah mereka, karena begitu kuhempaskan badanku di kursi bus, aku tenggelam dalam duniaku sendiri, dalam kekusutan pikiranku saat itu, aku berusaha untuk tidur-upayaku bermula ketika aku mengatupkan kelopak mata yang terasa lelah.

Nyanyian pengamen memenuhi udara. Pikiranku terganggu lengkingannya, gesekan biola yang sebelumnya selalu kusuka, tak lagi memanjakan telinga. Kalau menuruti kata hati, ingin rasanya aku mengusir mereka pergi. Tapi.., aku menahan diri.

Ketika entah berapa lama segala bunyi itu berhenti; dan samar kudengar gemerincing kepingan uang logam terkumpul dalam kantong plastik bekas permen sang pengamen dengan frekuensi yang jarang sekali. Ketika aku tak bereaksi terhadap kantong dihadapanku -mataku tetap terpejam saat itu, namun aku dapat merasakannya- kudengar sang pengamen berkata, "Anjing kabeh jigana, euweuh jelema."
Darahku mendidih ketika itu. Namun aku menggigit bibir sendiri untuk meredam amarah. Hatiku panas sekali mendengar ocehan itu. Namun, entah bagaimana ada rasa perih dan takut yang menyelimuti. Apakah mereka marah karena tak ada uang untuk sarapan? Pening kepalaku menjadi. Tak kukira, intimidasi verbal demikian mampu membuatku begitu menderita.
Tak berapa lama, suara biola tanpa vocal manusia kembali terdengar; untuk sekira sepuluh menit aku tersiksa. Kata-kata pedas yang dilontarkan pengamen -yang disemburkan tepat di depan wajahku- demikian dalam membekas; sehingga lengking biola tak lagi punya makna saat itu. Untunglah sang kondektur menyelamatkan deritaku dengan membagikan karcis dan menarik ongkos.

sisi lainnya
Sag pengamen bersinggungan lagi dalam duniaku. Kali ini dia menyajikan fragmen yang berbeda. Saat itu aku menumpang bus kota dari Leuwi Panjang sana. Sebagaimana biasanya, bus penuh sesak, lorong di antara dua baris kursi terisi dengan bangku-bangku cadangan yang diduduki para penumpang, kebanyakan perempuan. Penumpang lainnya berdiri.
Di sekitar kawasan Astana Anyar dua orang bocah pengamen naik bus meski telah dihardik sang sopir. Mereka menyanyi dan menepuk kendang persis di hadapanku. Bocah lelaki berusia sekitar 9-10 tahun, sementara bocah perempuannya kuperkirakan tak mungkin lebih dari enam tahun. Dua bocah itu berpakaian kumal, tanpa alas kaki, dengan daki menempel tebal yang sepertinya lebih dari satu bulan menetap di tubuh mereka.

Aku jatuh kasihan menyaksikan dua anak itu dihardik dengan kejam. Aku juga merasa risih dengan cara kedua nak itu menjual belas kasihan orang. Ketika dua buah lagu berakhir, bocah laki-laki mendorong bocah perempuan untuk meminta perhatian penumpang, karena lorong kursi itu sempit dan padat oleh penumpang sang bocah perempuan hampir tersungkur dibuatnya.

Dalam benak, aku berpikir, kapankah drama ini berakhir?

Tidak ada komentar: