21 Juli 2008

Televisi

Di Koran Tempo Edisi Kamis 17 Juli lalu, aku menyimak surat pembaca yang berjudul "Anak-anak Televisi". Disebutkan bahwa Koalisi Nasional Hari Tanpa Televisi (HTT) akan mencanangkan gerakan "Turn Off TV, Turn On Live! Matikan TV dalam Sehari" dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional.
Aku pun mendapati seorang teman yang memasang stiker "Matikan TV-Mu" di dekat tombol on televisinya. Dia beralasan, televisi hanya untuk nonton film yang diputar melalui DVD Player.
Jauh-jauh hari, orang tuaku bahkan tak berniat membeli televisi sejak aku masuk bangku sekolah dasar di tahun 80-an dulu. Televisi hitam putih yang pemutar chanel-nya masih manual dan berlayar BW tersimpan apik di lemari gudang tanpa pernah ditatap apalagi ditonton oleh segenap anggota keluargaku.
Baru belakangan ketika aku berstatus sebagai mahasiswalah pemahaman akan kesadaran dan pilihan orang tuaku untuk mendidik anak-anaknya tanpa televisi tersebut baru menghampiriku.
Ketiadaan televisi digantikan koran, majalah dan tabloid berbahasa Sunda oleh ayahku. Aku dan adik-adikku pun, entah karena kontruksi keadaan yang diciptakan orang tua atau memang keinginan yang timbul dari diri kami terbiasa untuk membaca daripada menonton televisi.
Ibuku di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga dan warung kecil di samping rumah kami menikmati waktu istirahatnya dengan membaca daripada menatap layar kaca yang memang tidak ada.
Adik-adikku yang siswa SD dan SMP pun lebih sering asyik dengan buku yang mereka pinjam dari perpustakaan pemda. Tak tanggung-tanggung, selain buku yang mereka pinjam dari sekolah, mereka memiliki dua kartu keanggotaan perpustakaan pemda: kota dan kabupaten sekaligus. Tak heran mereka selalu punya antrian buku yang harus dibaca setiap harinya.
Anti televisi bukan berarti keluargaku menyepelekan akses informasi dan apresiasi. Berbagai media massa dan siaran radio menjadi alternatifnya. Orang tua dan adik-adiku kerap menikmati siaran dongeng tradisional dan wayang golek melalui radio. Mereka pun menyimak informasi terkini dari media massa.
Anti televisi tidak berarti anti segalanya, buktinya meski terbilang keluarga sederhana, orang tuaku responsif terhadap permintaan komputer untukku, untuk adikku yang juga telah berstatus mahasiswa, juga tak menolak ketika adik lelakiku yang SMP meminta gitar elektrik untuk mengarahkan hobi bermain musiknya.
Sekiranya prestasi akademik dan perkembangan sosial menjadi indikator keberhasilan pendidikan anak tanpa televisi, kupikir tumbuh kembang keluargaku sungguh positif.
Jadi, bukan hanya matikan televisi, tanpa televisi sekalipun tak masalah bagiku.
Hanya mungkin, pacarku yang gila bola kelimpungan karenanya, pasalnya, tanpa televisi dia tidak dapat menyaksikan aksi klub atau pemain bola favoritnya.
Selamat hari anak tanpa televisi!

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Wahhh, sen, serius. tak ada tV di keluargamu?
salut euy ka ortu kamu.


Abu V

Seni mengatakan...

Ya, begitulah adanya.... Trims, udah mampir.