23 Juli 2008

Nangka Oma

Bagiku, mengenang bukanlah berpanjang angan. Ada banyak hal pada masa kini yang mengingatkan kita pada masa lalu, apakah itu selembar foto, sebentuk gantungan kunci, kartu ucapan selamat ulang tahun, segenggam bunga edelweis, atau hanya sebiji buah nangka.

Ya, sebiji buah nangka yang aromanya menggoda selera itu mengingatkanku pada seorang teman di bangsu sekolah dasar dulu. Namanya Oma. Sama sekali bukan panggilan “oma” yang bersinonim dengan “nenek”. Namanya memang Oma, lengkapnya Oma Masitoh. Kawan-kawan di kelas kadang mengolok-oloknya dengan panggilan Oma Irama.

Sosok Oma dalam memoriku terekam sebagai anak perempuan berpostur tinggi besar –dalam persepsiku yang masih siswa SD kelas II waktu itu- namun memiliki sorot mata nanar. Sorot mata itulah yang masih kuingat kuat sampai sekarang. Sorot mata coklat yang lugu namun keras hati. Menyimpan kekuatan tekad meski tampak menyembunyikan kegetiran. Dia berkulit gelap, dengan rambut tipis sebahu dan berwarna agak coklat yang terlihat lengket. Dia tidak pernah banyak bicara. Mulutnya hanya sesekali saja terbuka untuk bersuara.

Nangka mengingatkanku pada Oma karena buah yang satu ini demikian lekat dengan sosoknya. Dalam bungkusan plastik ukuran seperempat kilo gram terdapat sekitar sepuluh biji buah nangka yang dijualnya seharga Rp. 50,- waktu itu. Setiap kali berangkat sekolah Oma membawa satu atau dua kantong plastik hitam ukuran paling besar yang penuh bungkusan buah nangka untuk dijual kepada kami, teman-temannya, atau guru-guru kami di sekolah.

Tak seperti biasanya, suatu kali Oma pernah bercerita padaku tentang kebiasaannya. Setiap hari sehabis solat subuh, dia langsung membawa baju seragam putih merah-nya, buah nangka dagangannya, serta perlengkapan sekolah tentu saja. Selama tiga puluh menit dia turun gunung- dalam arti sebenarnya- sampai mencapai sungai. Di sungai itulah dia mandi dan kemudian berganti pakaian dengan seragam untuk melanjutkan perjalanan selama tiga puluh menit lagi menuju sekolah. Saking jauhnya tempat tinggal kawan masa kecilku yang satu itu, sampai-sampai aku dan teman sekelas menyebut daerah tempat tinggalnya dengan nama “Banen”. Sampai sekarang aku tak yakin apakah nama “Banen” tersebut merujuk pada nama desa, kampung, atau perbukitan. Namun karena aku pindah sekolah, selain cerita itu, tak banyak lagi kuketahui tentang dirinya.

Kukembalikan saja kenanganku pada buah nangka, yang sudah lama sekali aku tak berkesempatan menikmatinya. Dan lebih lama lagi aku tak bersua dengan kawanku Oma penjual nangka. Entah bagaimana kabar dirinya di “Banen” sana. Ah, rindunya....

Tidak ada komentar: