28 Maret 2009

garin & generasi biru

Ini pertemuan ke-4 dari kursus filsafat yang kuikuti. Semester lalu materi utamanya tentang filsafat agama dengan tagline “tuhan agamamu apa?”. Semester ini materinya boleh dikatakan lebih membumi: tentang filsafat manusia dengan tagline “menjadi individu”.

Nah, jika di minggu lalu materi yang dibahas tentang zoon logon echon, homo faber, lalu homo economicus (beberapa pandangan klasik tentang manusia), maka malam tadi kami mengapresiasi sebuah film dan mendiskusikannya dengan sang sutradara, yakni film “generasi biru” yang disutradarai Garin Nugroho.

Film yang dibintangi grup music slank tersebut merupakan gado-gado-seperti yang diakui sang sutradara-campuran antara dokumenter, musikal, dan animasi sekaligus. Rasanya pun otomatis cukup ramai. Bisa manis, asam, pedas, bahkan hambar. Kesan yang kutangkap cukup vulgar, liar, namun tidak asal. Nampaknya sang sutradara tahu betul tentang ruang kosong dalam estetika resepsi yang memungkinkan untuk diisi interpretasi berbeda oleh pengapresiasinya. Pesannya cukup kuat. Meski miskin dialog, ada banyak hal yang berbicara dalam film tersebut.

Aku pun cukup dimanjakan dengan beberapa lagu slank yang banyak diperdengarkan sepanjang film. Jadi, selain menawarkan pesan moral tentang dunia generasi biru yang seolah di luar jalur aman alias di luar sistem standar yang membuka luas terciptanya ruang dialog antara creator dengan apresiator, film ini cukup menghibur.

Di luar film tersebut, justru yang menurutku lebih menarik adalah apa yang dikemukakan oleh sang sutradara: garin nugroho. Pandangan-pandangannya sebagai –seperti sering dilontarkan para kuli tinta- pembuat film spesialis festival Di antara yang cukup menjadi bahan perhatianku ialah tentang konsep bahwa tugas setiap individu adalah melengkapi kemanusian banyak orang lainnya; dan bahwa memahami-mengerti sesuatu merupakan sebuah proses, karenanya sensor memori manusia mestilah senantiasa dibangun sejak dini.

Tidak ada komentar: