21 Agustus 2008

Perjalanan


Ada banyak hal yang bisa dikenang dari perjalanan, sependek apapun jarak dan waktu yang kita tempuh untuk melakukannya. Week end kemarin, tepatnya Sabtu, 16 Agustus petang aku dan beberapa orang kawan mengawali perjalanan kami dari kawasan Setiabudhi. Garut kota Intan menjadi tujuan kami. Agendanya sederhana saja: mengenang hari jadi ibu pertiwi dengan menunaikan upacara bendera entah di gunung atau perbukitan mana yang kami temukan di sana. Kami juga punya agenda berikutnya, berendam air hangat tentu saja.
Sebenarnya, itu kali kedua aku mengunjungi kota Garut dengan berkendara roda dua. Namun, malam itu nuansanya begitu berbeda, mungkin karena perjalanan kali ini dilakukan beramai-ramai sehingga hatiku menghangat karena rasa persahabatan, mungkin juga karena rasa lega karena penat sepekan sebelumnya yang tlah terbebaskan. Sayang, udara tak begitu berpihak pada kami. Angin menderu seperti dalam puisinya Chairil Anwar.

Setibanya di Garut, sekira pukul 9 atau 10 malam, kami menginap di rumah seorang kawan. Esok harinya, kami menuju ketinggian bukit dan pegunungan untuk melaksanakan misi kami: upacara bendera.

Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali melakukan upacara bendera. Dengan versi yang agak semena-mena. Pohon yang didaulat sebagai tiang bendera, lagu Hari Merdeka yang dinyanyikan secara tak sempurna, rokok yang tetap menyala di tangan beberapa peserta upacara, teks Pancasila yang sedikit terlupa, jelasnya perangkat upacara kami boleh dikatakan sangat sederhana. Namun, kami, setidaknya aku sendiri, merasa demikian merdeka menjalaninya. Menyenangkan rasanya menikmati perjalanan dan kebersamaan dengan kawan-kawan, betapapun sederhananya apa yang dilakukan.
Selepas upacara bendera kami turun gunung, berendam air panas di sebuah kolam renang, menghilangkan pegal dan penat di badan. Kawan-kawan yang pandai berenang ya berenang, yang pandainya gaya batu ya diam membeku, eh airnya kan panas jadi gak beku tapi matang, hehehe...

Beranjak dari hangatnya air di kolam renang kami berburu makan siang yang sebenarnya sudah kesorean. Menu sop buntut pun jadi pilihan. Tak selesai di sana, kami mengunjungi kediaman salah seorang teman di dekat kawasan Situ Bagendit. Tanpa malu bertanya sehingga tak sesat di jalan kami sukses juga menemukan tempat tinggalnya. Martabak manis dan kopi pun jadi kudapan selanjutnya di sana.

Menjelang petang, kami pun memutuskan untuk pulang dengan rute perjalanan yang berbeda dari sebelumnya. Pemandangannya demikian indah dan menyejukkan mata di saat senja. Sejauh mata memandang hamparan padi luas menghijau tersiram warna emas kemerahan; melambungkan angan, menghanyutkan perasaan. Mengemas seluruh perjalanan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Menerbitkan kerinduan pada perjalanan di masa mendatang.

Tidak ada komentar: