22 Desember 2011
Ibu
Menjadi seorang ibu telah mengenalkanku pada aku yang lain. Pada aku yang seolah terbelah namun tetap satu. Aku yang satu dalam diriku. Aku yang lainnya dalam jiwa anakku.
Menjadi ibu membuatku menjadi, setiap hari, setiap waktu.
Meski Hari Ibu hanya hari ini, kasih ibu membanjir tak kenal hari. Meski Hari Ibu hanya hari ini, doa ibu mengalun sepanjang waktu. Meski Hari Ibu hanya hari ini, sayang ibu selalu tulus, selalu, dan selalu.
20 Juli 2010
Selaksa Rasa
Kondisi fisik mulai menuai banyak keluhan. Emosi yang kadang tidak stabil dan kerap mengalami perubahan. Juga gumpalan rasa khawatir terhadap segala hal yang mungkin datang menjelang masa persalinan.
Menurut perhitungan, tepat di hari ini, tiga puluh enam minggu sudah janin berada dalam kandunganku. Kata dokter, persalinan biasanya terjadi setelah minggu ke-40. Itu pun bisa mundur, atau maju dari tanggal yang diprediksikan. Hanya Tuhan yang tahu, kapan sang bayi akan memperlihatkan diri di haribaan bumi.
Do'aku, semoga selamat hingga tiba waktunya...
11 Februari 2010
Jeda
Namun, sejujurnya aku malu. Aku malu karena sampai saat ini aku belum mampu merealisasikan pesan dan arahannya -yang sudah merupakan janjiku sendiri- agar aku konsisten meniti jalan ilmu pengetahuan. Rasa malu itu muncul bukan karena aku merasa tak mampu, tapi karena aku belum mencoba untuk melakukannya. Aku merasa kosong. Merasa memiliki utang yang belum juga sempat kubayar.
Lalu, aku menemukan kata aku. Jeda. Ya, jeda. Mungkin selama ini aku terlalu keras kepada diriku sendiri sehingga aku malah terbelenggu. Aku lupa bahwa diriku pun perlu jeda. Aku lalai untuk menikmati waktu luang yang selayaknya kuberdayakan untuk menabung energi dan menyuplai gagasan. Aku perlu sedikit bersantai agar pikiranku segar dan terbuka terhadap banyak hal. Hingga di suatu hari, aku siap kembali berkarya dengan cemerlang, entah di ranah apa, atau melalui media apa. Semoga.
05 Februari 2010
aku . . .
Mulanya aku merasa tak tahan karena kekerapanku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Saking seringnya sampai sehari aku bisa bolak-balik lebih dari lima belas kali. Hal itu sangat mengganggu, terutama ketika aku berada dalam perjalanan dengan menggunakan sarana transportasi umum. Sampai-sampai aku sering minta berhenti meski belum sampai tempat tujuan.
Konsekuensi berikutnya menimpa wajahku, berupa jerawat yang muncul dan tak kunjung habis. Ibaratnya hilang satu tumbuh sepuluh. Wah, jangan tanya mumetnya. Kata orang kalau hamil jadi tambah cantik, kok aku malah jerawatnya yang membukit, hiks... hiks.
Lalu, masalah "standar" yang dialami hampir semua perempuan hamil: mual-muntah. Fhhh.... betapa tak nyamannya, gak enak makan, malas minum, perut begah, kepala pusing, badan letih, lemah, lesu, dan sebagainya. Bawaannya pengen bed rest melulu.
Dan yang paling merepotkan di antara semua itu adalah intensitas air liur yang meningkat entah berapa kali lipat, sehingga aku harus membawa kantong plastik jika bepergian plus tisu ekstra banyak. Belum lagi di saat menjelang tidur atau kalau harus bicara dengan orang lain. Wuihhhh repotnya....
Namun, di atas semua itu, aku kembali belajar untuk semakin meningkatkan kesabaranku, mengabaikan keegoisanku. Aku membentuk diri menjadi manusia baru, demi manusia lain yang tumbuh dalam rahimku: anakku. (Sesungguhnya, jauh di lubuk hatiku aku masih belum percaya, benarkah ada sosok mungil yang bertumbuh bersama diriku, menghirup udara yang sama, mencium aroma yang sama, menyerap nutrisi makanan yang sama, hidup dalam tubuh yang sama).
13 Desember 2009
aku dan catatan harianku
Oh, ya, aku menulis catatan harian sejak Kelas 2 SMP, dan buku-buku itu masih kusimpan sampai sekarang. Oleh karenanya, pasangan hidupku punya cukup banyak referensi otentik tentang diriku dari buku-buku itu. Sayangnya, dia tidak memiliki kebiasaan yang sama, sehingga aku harus puas dengan kisah kehidupannya pada masa lalu melalui sudut pandangnya saat ini. Kalau dipikir-pikir sepertinya kurang adil, ya?
Kembali pada kebiasaanku menulis catatan harian, aku sungguh heran mengapa aku mandeg menulis, padahal belakangan ini tak kurang-kurang pengalaman atau momen-momen penting yang kualami. Sebut saja proses penyelesaian studi magisterku yang menguras cukup banyak energi -dan tentu saja materi-, persiapan dan pelaksanaan pernikahanku dengan Ari tak lama setelah aku maju ujian sidang untuk mempertahankan tesisku.Kondisi dan suasana tempatku bekerja yang fluktuatif.
Hm, belum lagi pengalamanku sebagai pasangan baru dengan segala lika-likunya, fhhh....rame rasanya, sodara-sodara! Ada manis, asam, asin, dll (kaya permen aja, heheh).
Sekarang ada cerita baru pula. Ini tentang gigi. Ya, gigiku yang waktu kecil dulu kurang terawat dengan baik sehingga kini perlu perawatan ekstra. Sebenarnya aku agak khawatir tentang ini. Hm, mudah-mudahan saja segalanya berjalan dengan baik dan aman. Semoga.
13 Agustus 2009
dua tahun bersama mereka
18 Mei 2009
Teman
Aku percaya, salah satu resep hidup bahagia adalah banyak teman. Setelah hampir sebulan sibuk sendiri, juga karena sakit selamat lebih dari seminggu aku kurang menjalin kontak dengan teman-teman. Akhirnya, di akhir pekan kemarin waktu melepas rindu pun tiba. Tidak dengan begitu banyak teman sih, setidaknya aku, ita, dan maulida bisa bertemu pada waktu yang sama. Hampir setahun belakangan ini kami tak sering bertemu. Meski tinggal lumayan berdekatan, ita sibuk bekerja pagi hingga malam, jadi kami tak sering berjumpa. Maulida tinggal di bagian kota yang lumayan jauhnya sehingga tak setiap bulan juga kami bertemu.
Kami mulai berteman ketika sama-sama bergabung di UKM Persma waktu kuliah dulu. Berkegiatan bersama-sama selama hampir tiga tahun membuat perkawanan kami lebih dekat. Kami pun memotret momen itu di taman kampus pada pagi hari yang cerah, di taman kampus yang bunganya rekah. Meski kami belum mandi, tapi gayanya cukup aksi, hehehe....
17 April 2009
menulis-mimpi-penulis
Aku pun teringat seorang teman yang mengatakan memiliki mimpi serupa, namun tak kunjung menulis. Padahal, hampir setiap orang di zaman ini bisa menulis, tapi sayangnya justru tak banyak orang yang menulis.
Menulis mengikat pemikiran, memperpanjang ingatan, menjadi standar kejelasan gagasan, merapikan jalan pikiran.
Lalu, tiba-tiba tanya itu mendera: mengapa aku tak kunjung jadi penulis? padahal setiap hari aku bergelut dengan tulisan. Sulit rasanya menuangkan gagasan yang mengendap dalam beenak. Terlalu banyak alasan rasanya yang membiarkanku mendapat pembenaran sehingga tak menulis dengan jernih. Kerap muncul khawatir akan ketidakmampuan mengemukakan gagasan dengan rapi. Padahal, aku sendiri bergelut di dunia bahasa. Padahal, sedari kecil aku sudah sangat sering membaca.
Bagiku, betapa indahnya menulis itu. Seperti melukis. Menyerap, mereguk, mencerna selaksa rasa dari semesta, lantas membaginya dengan sesama.
06 April 2009
kenang(2)an, untuk kawan-kawan yang aku sayang
Harinya tiba, akhirnya aku menatap wajah-wajah itu. Dalam waktu bertemu yang tak lama itu, kuperhatikan mereka satu per satu. Ada yang membengkak jadi gemuk, ada yang tetap kurus seperti dulu, ada yang jadi hobi berdandan berat, ada juga yang tambah "gila" melebihi masa SMA, slengean, urakan, meski terlihat jauh lebih gaya. Bahagia? tentu saja, tapi tak seindah khayal dan imajinasi yang kurangkai di kepala, tak seindah bayanganku semula.
Meski begitu, aku senang kembali tertaut waktu dengan mereka, yang kini menempuh hidup di jalan berbeda-beda. Setidaknya, di satu titik di masa lalu, kami berbagi kasih dan keceriaan bersama-sama.
Pertemuan kemarin hanya hitungan jam, tapi aku senang. Memandang kawan-kawanku di masa kini, seperti membongkar aku dan hidupku di masa lalu. Di raut muka kawanku aku menemukan sebagian gambaran wajahku. Lalu, rasa hangat itu mengalir di seluruh pembuluhku. Menciptakan desir. Menimbun selapis lagi kenangan tentang makna hadirnya "kawan" sehingga tak sekadar angan-angan.
28 Maret 2009
garin & generasi biru
Ini pertemuan ke-4 dari kursus filsafat yang kuikuti. Semester lalu materi utamanya tentang filsafat agama dengan tagline “tuhan agamamu apa?”. Semester ini materinya boleh dikatakan lebih membumi: tentang filsafat manusia dengan tagline “menjadi individu”.
Nah, jika di minggu lalu materi yang dibahas tentang zoon logon echon, homo faber, lalu homo economicus (beberapa pandangan klasik tentang manusia), maka malam tadi kami mengapresiasi sebuah film dan mendiskusikannya dengan sang sutradara, yakni film “generasi biru” yang disutradarai Garin Nugroho.
Film yang dibintangi grup music slank tersebut merupakan gado-gado-seperti yang diakui sang sutradara-campuran antara dokumenter, musikal, dan animasi sekaligus. Rasanya pun otomatis cukup ramai. Bisa manis, asam, pedas, bahkan hambar. Kesan yang kutangkap cukup vulgar, liar, namun tidak asal. Nampaknya sang sutradara tahu betul tentang ruang kosong dalam estetika resepsi yang memungkinkan untuk diisi interpretasi berbeda oleh pengapresiasinya. Pesannya cukup kuat. Meski miskin dialog, ada banyak hal yang berbicara dalam film tersebut.
Aku pun cukup dimanjakan dengan beberapa lagu slank yang banyak diperdengarkan sepanjang film. Jadi, selain menawarkan pesan moral tentang dunia generasi biru yang seolah di luar jalur aman alias di luar sistem standar yang membuka luas terciptanya ruang dialog antara creator dengan apresiator, film ini cukup menghibur.
Di luar film tersebut, justru yang menurutku lebih menarik adalah apa yang dikemukakan oleh sang sutradara: garin nugroho. Pandangan-pandangannya sebagai –seperti sering dilontarkan para kuli tinta- pembuat film spesialis festival Di antara yang cukup menjadi bahan perhatianku ialah tentang konsep bahwa tugas setiap individu adalah melengkapi kemanusian banyak orang lainnya; dan bahwa memahami-mengerti sesuatu merupakan sebuah proses, karenanya sensor memori manusia mestilah senantiasa dibangun sejak dini.
25 Maret 2009
cerita helaian benang & tusuk lumpia
sebenarnya sejak kelas 1 SMP aku telah banyak bersentuhan dengan helaian benang. hanya dulu aku tak merangkainya dengan sumpit lumpia yang dimodifikasi, tapi dengan jarum logam pipih yang di kedua ujungnya terdapat pengait khusus.
dua hari pertama aku bongkar pasang rangkaian benang sampai hampir putus asa. kata seorang kawan aku kurang sabar, buktinya aku tak bisa merangkai helai-helai benang tersebut.
tapi di pagi hari ketiga aku menemukan titik lemah karyaku sehingga dapat melewatinya dengan selamat. jika kawan-kawanku hanya menggunakan satu gulungan benang saja, maka aku menuntaskan karya pertamaku dengan dua gulungan benang sekaligus. meski sepanjang hari aku bergelut dengan banyak pekerjaan, aku menyulam karyaku setiap ada kesempaatan. akhirnya; karya perdanaku pun kuselesaikan tadi pagi...sehelai syal dengan gradasi warna hitam, biru, dan merah marun. hangat melilit leherku. hm, senangnya.
aku pun berpikir tentang antusiasme setiap orang terhadap sesuatu yang ditargetkannya atau digandrunginya. putus harapan di tengah jalan, bahkan berpikir sama sekali tak ada peluang baginya. padahal kita sendiri, dengan bekal kemauan, semangat, dan kerja keras pasti mampu mencapai atau mewujudkannya.
seperti cerita tentang helai-helai benang itu, meski lelah dan pegal, aku senang. sungguh....
18 Maret 2009
tentang menulis
Sayang, aku belum benar-benar menerjunkan diri secara maksimal dalam dunia ini. Aku menulis intensif dalam catatan harian sejak kelas 1 SMP. Sampai hari ini buku harian manualku telah lebih dari lima jumlahnya. Tentu saja dengan ketebalan buku yang relatif. Ada yang sangat tebal sehingga berkesan serius, sampai buku harian kelas 1 SMP yang full colour dan berkesan remaja. Dari sejumlah buku harian itu aku menemukan rekam jejak gaya tulisanku selama ini, juga isi, dan tema-tema yang kutulis dari kehidupanku sendiri. Sangat berwarna. Ada yang norak, lucu, tapi ada juga yang kontemplatif dan melankolis.
Selain catatan harian, karya tulis yang kubuat lebih banyak berupa karya ilmiah, baik karya konseptual seperti makalah, laporan buku, dan artikel, maupun laporan penelitian yang kutulis sebagai skripsi pada akhir studi S1-ku dulu. Beberapa penelitian di semester 1 tentang Ujaran sebagai Bentuk Interaksi Sosial (Sosiolinguistik) dan semester 2 tentang Kedwibahasaan pada Anak (Bilingualisme) pada studi magisterku kulaporkan dalam bentuk makalah.
Semasa S1 aku menulis berita dan resensi di situs dan koran kampus. Tulisanku yang dimuat di media massa hanya terjadi pada Oktober tahun 2005 lalu, itu pun merupakan satu-satunya tulisan yang pernah kukirimkan.
Belakangan aku menjadi penulis lepas di antara aktivitasku sehari-hari. Hasilnya sebuah buku yang sudah dibeli oleh penerbit, sebuah buku keroyokan tentang pengajaran bahasa dan sastra; serta ensiklopedi sastra. Secara ekonomi, hasil dari menulis tersebut cukup lumayan juga untuk membayar uang kuliah.
Sekarang aku sedang menulis tesis, semoga saja dapat kuselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
07 Maret 2009
puisi pagi ini
bukalah hari dengan doa
bukalah hati dengan cinta
dan
lihatlah betapa hidup ini berharga...
mungkin bagi dunia kau hanya seseorang
tapi bagi seseorang kau adalah dunianya
26 Januari 2009
hidup dan mimpi
Aku pun jadi tergoda untuk berpikir, apakah untuk mengerti hidup manusia harus menempuh mati lebih dulu? Apa sebenarnya yang kita cari, apa sesungguhnya yang kita kejar dalam hidup? Zaman dulu, di Jepang sana orang-orang memilih jalan zen atau jalan pedang.
Sedangkan aku? Aku ingin hidup menjadi lebih baik, untukku dan untuk orang-orang lainnya. Melalui pendidikan dan pengetahuan yang selama ini kutekuni. Melalui sikap dan perbuatan yang selama ini aku pilih. Melalui kata-kata yang kuucapkan dan kutuliskan aku ingin bertumbuh dan berbagi dengan sekelilingku.
Sejak lama aku ngeri pada kebencian atau kesalahpahaman yang menghancurkan perasaan, menghancurkan hubungan, dan mengasingkan orang-orang, satu dari lainnya. Cinta sepertinya terlampau mahal untuk manusia. Bahkan, kehancuran kerap terjadi dengan mengatasnamakan cinta. Pada mulanya aku tak mengerti. Tapi memang hidup manusia tak selalu berarti hitam atau putih.
Namun, di sebalik semua itu, meski tak setiap mimpi menjelma nyata, mimpilah yang kerap memenangkan hati untuk bertahan. Untuk tetap bergerak, bertumbuh dan berbuat, sebisa-bisanya, semampu-mampunya. Di antara sekian mimpi yang menghiasi langit hatiku adalah berpetualang.
Sesunggguhnya, aku senang berpetualang, jiwa dan raga. Petualangan jiwa kerap kulakukan. Bahkan sejak masa kanak-kanak, ketika aku berselancar dengan banyak tokoh cerita sederhana semacam lima sekawan atau sapta siaga. Seiring usia, aku pun menekuni karya Pramoedya, Iwan Simatupang sampai Andrea Hirata. Cerita dari barat dan timur negeri ini pun kumamah dan kucerna, di hati dan di kepala. Mereka tak menggurui, apalagi menghakimi. Melalui pelbagai cerita itu aku banyak belajar tentang hidup dan kehidupan, sosok tak nyata namun efeknya demikian terasa. Persentuhanku dengan sastra merupakan petualangan jiwa yang tak terperikan maknanya.
Sejujurnya, petualangan raga belum banyak kulakukan, suatu saat akan kuusahakan untuk menggenggam kesempatan itu; mengunjungi banyak tempat di pelosok negeri, bahkan di pelosok bumi jika memungkinkan. Ah, alangkah indah jika mimpi menjelma menjadi kenyataan yang terhampar di hadapan.
“Namun, tidakkah mimpi itu sendiri sudah merupakan kekayaan yang telah menjadi suatu kepastian, kawan?” tanya hati kecilku kemudian.
gigi di rahang kiri
Sesuatu yang pada mulanya kukira sebagai sesuatu yang sederhana ternyata tidaklah demikian halnya. Hal itu kusadari pasca pemeriksaan gigi yang kulakukan beberapa waktu lalu. Waktu itu sang dokter gigi berkomentar bahwa deret gigi sebelah kanan lebih bersih dari yang sebelah kiri. Dia pun “ngomel” panjang pendek karena katanya aku menggosok gigi dengan tidak bersih.
Aku membela diri bahwa mungkin deret kanan gigiku lebih bersih karena deret itu yang selalu kugunakan untuk makan. Selama lebih dari dua puluh tahun aku tak menggunakan deret gigi sebelah kiri untuk mengunyah makanan. Sang dokter pun nampak lebih “marah” disertai perintah wajib untuk mulai menggunakan sang gigi di rahang kiri. Katanya, apabila aku tetap dengan kebiasaan makan dengan rang kanan saja, jika suatu hari aku menggunakan kawat gigi, kawat gigi di sebelah kanan akan sering lepas, sedangkan rahang kiriku akan bengkak. Hih, tanpa terasa aku bergidik ngeri. Maka berjanjilah aku pada diri sendiri untuk mengunyah makanan dengan gigi di rahang kiriku.
Nah, sudah lebih dari tiga hari aku melakukannya, dan ternyata itu sungguh tak mudah. Bahkan, pada hari pertama gusiku sampai berdarah karenanya. Mulut terasa kaku, dan gusi menjadi ngilu jika bagian kiri yang kugunakan untuk mengunyah. Makanan pun jadi tak enak seolah tanpa rasa. Payah benar aku makan. Selama ini, waktu makanku relatif lama dibandingkan teman-teman atau keluargaku. Dengan perubahan ini maka waktu makan pun menjadi lebih lama lagi. Fhhh ....
Aku pun teringat kawanku Dewinta yang seorang psikolog, pada ibu-ibu muda yang memiliki bayi di sekolah dia wanti-wanti untuk memberikan makanan yang bisa dikunyah –bukan makanan cair yang diblender dan dihancurkan- pada usia tertentu agar rahang anak menjadi kuat. Selain menguatkan gusi dan gigi, hal ini akan berpengaruh terhadap kesiapan alat artikulasi yang menunjang kemampuan berbahasa sang anak nantinya.
19 Januari 2009
cerita
Kemarin aku berjumpa kawan SMA yang sejak lima tahun lalu tak bertemu.
Tak terasa, dan tak percaya rasanya, delapan tahun sudah kami melepas seragam putih abu. Ada kenangan, ada kerinduan, ada banyak kesan yang tak terlupakan bersilangan.
Aku tak ingat persis apa yang terjadi atau isi pembicaraan kami ketika terakhir kali bertemu, lima tahun lalu itu. Namun, nampaknya tidak demikian bagi kawanku. Baru kemarin kuketahui hal itu.
Katanya, terakhir kami bertemu bertahun lalu dia tengah goyah dengan hidupnya, dia bilang saat itu ada kata-kataku yang selalu diingatkanya. aku berkata padanya “kamu masih punya tangan untuk berbuat, mata untuk melihat, dan mulut untuk bicara, yakinlah dengan itu semua kamu bisa hidup dan menghidupi dirimu.” Dari situ dia pun punya sejumput mimpi yang kini telah menampakkan diri.
Namun, kini mimpi lain menghampiri, dan dia datang kembali. Kali ini entah bicara apa aku kepadanya. Hanya saja, aku senang dia tampak berwajah cerah ketika punggungnya menjauh dari hadapku. Mungkin, ketika suatu hari aku bertemu dengannya lagi, ia akan mengingatkanku tentang apa saja kata-kata yang telah kulontarkan kepadanya.
hm, masa lalu memang begitu jauhnya…
namun kadang begitu terasa indahnya…
25 Desember 2008
liburan
apapun aktivitas Anda di penghujung tahun kali ini, selamat liburan, kawan!
24 Desember 2008
ini hari...
Mungkin Desember ini postinganku tergolong paling minim dibandingkan bulan-bulan lainnya. Awal bulan kemarin aku jatuh sakit. Selama seminggu penuh aku hanya terbaring di tempat tidur. Sakit, pegal, dan tak nyaman. Bahkan ketika seminggu kemudian aku diberondong banyak pekerjaan kondisiku masih belum pulih benar. Namun, setidaknya sekarang, aku sudah mulai menemui ritme kerjaku lagi dan berdamai dengan segala macam hal yang harus kuselesaikan di penghujung tahun yang juga akhir semester ganjil ini.
Tak ada yang tak mudah memang. Tapi aku yakin dengan sikap positif dan ketekunan segalanya dapat kuselesaikan dengan baik. Semoga.
Sebagai catatan, perkuliahan di kelas secara umum sudah berakhir. Aku dan kawan-kawan tinggal bersiap menghadapi UAS di awal Januari mendatang. Selepas itu, aku harus sudah mulai beranjak untuk menempuh penulisan tesis.
Di sekolah, aku mengakhiri kelas dengan menilai penampilan drama siswa Secondary 2. Penampilan perdana mereka memiliki banyak warna tentu saja. Ada yang lupa dialog, kehilangan properti, bloking, gugup, tapi secara umum penampilan mereka cukup baik dan menghibur. Beberapa siswa memainkan peran yang karakternya bertolak belakang dengan karakter mereka sehari-hari. Mereka pun sukses mengadopsi berbagai dialek dan ragam bahasa nusantara sesuai tumtutam peran yang mereka mainkan. Kostum yang mereka pilih pun mereka pertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Menyenangkan rasanya berbagi ruang dan waktu dengan mereka.
Oh, ya, ketika beberapa waktu lalu kuperhatikan buku harian konvensionalku banyak kuisi dengan tulisan-tulisan bernada negatif, aku pun berusaha mengimbanginya dengan menulis berbagai hal positif yang kualami. Bertindak adil sejak dalam pikiran kata Pramoedya sang penulis, atau bertindak adil dalam menulis kata pacarku. Sehingga aku pun memiliki resolusi sederhana untuk selalu menulis hal positif tentang diri dan kehidupanku. Bahkan ketika menghadapi sitasi negatif sekalipun.
Hm, kupikir itu cukup untuk hari ini.
30 November 2008
pindah
Aku pun merenungkan pengalamanku sendiri ketika pindah. Dulu, di pertengahan tahun 2003 aku pindah dari asrama kampus ke kos-kosan. Meski di asrama ada acara ngosrek yang kejam, ada Ibu Asrama yang galak tak kepalang ternyata meninggalkannya tetap membuatku sedih dan kehilangan. Tak ayal aku menangis merindukan teman-teman asrama yang beragam. Kehidupan mahasiswa yang tinggal di asrama tak semuanya menyenangkan, tapi tetap saja membangkitkan kerinduan. Setiap waktu aku bisa berkunjung dari satu kamar ke kamar lain, apalagi kalau ada teman yang baru mudik, wah surga makanan tak pernah bisa dilewatkan.
Di awal kepindahanku itu aku berpikir suasana kos-kosan sangat menyesakkan, individual, berkorelasi dengan kesepian. Maklumlah di asrama aku terbiasa dengan suasana ramai, jumlah penghuninya yang lebih dari 40 orang membuat. Namun, seiring berlalunya waktu, aku mulai kerasan tinggal di sana. Apalagi, beberapa waktu kemudian banyak kenangan manis yang tercipta. Di dapur ketika memasak bersama, ketika menonton tv, bahkan ketika bekerja bakti sesekali.
Pertengahan tahun 2004 aku pindah ke sebuah rumah kontrakan yang nyaman di kawasan Sukaluyu sana. Tiga ruang tidur, ruang tengah yang luas, ruang makan, kamar mandi dan dapur yang nyaman, plus halaman dengan beberapa tanaman hias. Benar-benar terasa “rumah”. Di sana aku tinggal bersama sahabatku sejak SMA dan keponakannya yang sebaya. Sayang, jarak antara rumah dan kampus membuatku merasa payah. Belum lagi beberapa waktu kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga bahan bakar. Setahun kemudian, mengingat aku harus banyak berkunjung ke perpustakaan dan bimbingan skripsi, jadilah aku pindah kembali ke daerah atas. Ke kosan-ku sebelumnya.
Setiap kali pindah, barang-barangku selalu bertambah, entah barang itu memang benar-benar berguna atau malah sampah yang kupertahankan atas nama kenangan. Dan setiap kali pindah, ruang hatiku pun terisi sosok-sosok yang tak sama dari sebelumnya. Meski tak ayal, pada saat tertentu mereka berkelindan pada saat yang bersamaan dalam benak, entah mengapa...
Menariknya, selama itu aku berbagi ruang dengan orang-orang secara bertahap. Ketika di asrama setiap kamar dihuni oleh empat orang, masing-masing mendapat fasilitas lemari, tempat tidur, dan meja belajar. Kami berbagi satu kamar mandi. Memang tak cukup ruang untuk privasi, tapi efeknya kami tak pernah merasa kesepian. Meski tentu saja ada waktu dimana aku merasa ingin sendiri tanpa terganggu.
Tahun berikutnya, pada saat pertama kali menyandang status anak kosan, aku berbagi ruang dengan seorang teman. Ratih namanya. Dia cerewet sekaligus baik hati, setiap malam menjelang tidur, dia bercerita tentang apa saja, seringkali setengah mengantuk aku mendengarkan, sampai kemudian terlelap dan tak terlalu ingat apa yang dikatakannya. Beberapa kali kami saling berdiam jika merasa kesal, untuk tak lama kemudian saling berbagi kembali seperti halnya saudara. Lalu, pernah suatu kali kami bersitegang cukup pelik. Untungnya waktu itu dia mudik ke Solo sehingga ada waktu bagi kami untuk saling merenung. Situasi kami tak enak saat itu. Lagi-lagi sang waktu yang melekatkan kembali hati kami. Kini dia mengikuti suaminya terkasih yang bertugas di Aceh sana.
Ketika tinggal di rumah Sukaluyu aku tak merasa tinggal sebagai anak kosan. Mungkin karena aku tinggal dengan sahabat yang sudah seperti saudara sendiri. Tinggal bersama Fiskiyya dan Fitria menjadi momen berwarna dalam fase hidupku. Fisq yang menikah dengan Yoga pada Agustus lalu, kini tinggal di Indramayu, sedangkan Fitri yang berkarir sebagai Manajer Pemasaran di sebuah perusahaan masih menjadi anak kos di kawasan Sukaluyu, meski tidak tinggal di rumah yang kami huni dulu.
Baru pada penghujung tahun 2005 aku menikmati ruangku sendiri. Ruang yang merekam sebagian besar sejarah hidupku selama lebih dari tiga kali seribu hari belakangan ini. Selepas ini, entah kemana lagi aku berpindah. Hanya saja, ketika suatu hari nanti aku pindah dari tempat ini, semoga saja hatiku tak ikut berpindah lagi.