25 Oktober 2008

10-10

Dia dan aku berbicara dengan nada dan gaya seperti dulu. Seperti ketika kami masih berseragam putih-biru. Sempat ada jeda dan intensitas pertemuan yang tak lagi sama. Lalu seiring waktu, seragam kami berganti putih-abu.
Entah bagaimana nada dan gaya berbicara kembali pada frekuensi yang sama. Untuk sekian lama. Sampai pada suatu ketika, kecewa dalam tataran ganda membuatku memaksa mengalihkan nada, berbicara dalam frekuensi yang tak lagi sama. Dengan kesengajaan yang terlalu kentara.
Pada kurun waktu berikutnya, diam-diam nada bicara kami kembali bagai semula, meski di titik tertentu dia dan aku memiliki frekuensi sendiri-sendiri.
Pada pukul 10 pagi, tanggal 10, bulan 10 nada bicara itu kembali menyapa gendang telinga. Dengan nuansa keceriaan masa SMA, dengan kekonyolan dan ledekan khas anak putih biru. Sampai di sepuluh detik terakhir, terucapkan jua kabar itu. Kabar yang pada detik pertama samar maknanya. Hingga dia memastikan kata "ya".
Sepuluh menit pembicaraan saat itu menggenapkan kisah sepuluh tahun lalu. Membuatku mengerti bahwa titik akhir itu tengah terjadi. Keputusan telah dijatuhkan. Pilihan telah ditetapkan. Dan ada sebagian diriku yang gamang. Untuk sehari semalam rasa itu menyakitkan. Untuk kemudian aku berhenti merasa tersakiti. Aku sadar bukan dalam kapasitasnya aku merasa terluka. Aku pun mampu merelakan.
Sekian detik tadi, ponselku menampilkan pesan pendek darinya,
"aku tau ada seseorang di sana yang kamu sayangi, dan di matamu ga ada aku lagi, Nes...."