30 Oktober 2008

dari tinta sampai tetesan darah, dari puisi sampai tragedi

Judul : The Dante Club
Penulis : Matthew Pearl
Penerbit : Q-Press, Bandung, Agustus 2005
Tebal : 616 halaman
Cetakan : Pertama

Tahun 1865, di kawasan Boston, empat sastrawan besar Amerika, Henry Wadsworth Longfellow, Oliver Wendell Holmes, James Russell Lowell, Oliver Wendell Holmes, dan J.T Fields mengerjakan proyek literasi fenomenal. Dengan bendera The Dante Club mereka menerjemahkan Divina Commedia karya Dante Alieghieri (1265-1321), sastrawan Italia yang kontroversi.

Bersamaan dengan itu, serangkaian pembunuhan kejam yang diilhami adegan-adegan dalam inferno terjadi. Artemus Prescott Healey, Ketua Kehakiman Boston menjadi korban pertama. Korban kedua Elisha Talbot, Pendeta Gereja Unitarian Kedua di Crambridge. Lalu Phineas Jennison, pebisnis baru paling kaya di Boston menjadi korban ketiga. Healey ditemukan mati dengan ribuan belatung dan serangga di tubuhnya. Talbot ditemukan dalam lubang di ruang bawah tanah Gereja dengan posisi tubuh terbalik dan kedua kaki terbakar hangus. Sementara Jennison ditemukan di benteng tua dengan posisi tubuh tergantung dan tercabik seperti dikuliti.

Diantara birokrasi pemerintah dan kepolisian yang belum mapan, Nicholas Rey, polisi berkulit hitam pertama di Boston, berusaha mengungkap dan menemukan pelaku pembunuhan ini. Campur tangan Biro Detektif yang mengejar hadiah dan uang, serta statusnya sebagai mullato membuatnya kerap terjepit dalam situasi sulit dan terjebak birokrasi berbau rasial.

The Dante Club menerjemahkan Divina Commedia dengan goresan tinta, sementara sang lucifer-sebutan The Dante Club untuk sang pembunuh- menerjemahkan karya Dante dengan darah korbannya. Proyek The Dante Club terancam, diam-diam mereka menyelidiki motif dan pelaku pembunuhan yang menyiratkan ke-Dante-an tersebut.

Dr. Augustus Manning, Bendahara Korporasi Harvard menganggap The Dante Club berusaha menyebarkan kesusastraan asing ke kota Boston yang ajarannya dianggap akan meresahkan masyarakat. Menurutnya bahasa dan sastra modern-seperti Italia-bermutu rendah. Merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan reputasi universitas, Manning menyewa Detektif untuk memantau kegiatan The Dante Club.

Novel thriller ini diwarnai kegetiran hidup para veteran perang dan imigran dengan berbagai latar belakang. Belatung-belatung menjijikan, serangga-serangga mematikan. Kekakuan dunia akademis dan menara gading universitas. Pertanyaan falsafati tentang hakikat karya sastra, mengalir dan memukau dalam karya perdana Matthew Pearl ini.

Pearl menyatukan latar dan psikologis tokoh dengan memikat.
...tempat angin dingin menerjang bangunan batu bata tua itu. Dia merasakan kabut tebal berjelepak, dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Lalu lonceng berdentang dari segenap penjuru alam semesta. Dan Rey berlari. (Hal: 344).

Apik dalam menghadirkan gejolak perasaan tentang kehidupan .(Hal: 347).
Selalu saja ada godaan untuk percaya bahwa dunia sekedar perangkap agar manusia berbuat dosa. Tetapi hanyalah kegagalan untuk menegakkan sebuah hukum yang sempurna. Bagi kakek moyangnya, misteri besar kehidupan itu adalah dosa itu sendiri. Bagi Dr. Holmes, misteri itu adalah penderitaan. Dia tidak pernah berharap menyingkapnya terlalu banyak. Kenangan pekat, keceriaan dan gejolak tawa yang berlebihan, melekat erat pada pikiran linglung Holmes ketika dia menatap ke depan.

Pearl juga mengungkapkan pemikirannya tentang Dante, sumber inspirasinya.
Dante dengan membedah orang lain, meminta kita untuk saling mengenal. Dante menulis puisi untuk membebaskan kita dari sang waktu ketika kematian tak bisa dipahami. Dia menulis untuk memberi kita harapan hidup ketika kita tak memiliki apapun... (Halaman 378)

Novel yang diapresiasi dan direspon banyak kalangan ini mengambil tokoh utama para sastrawan besar Amerika yang hidup pada tahun 1800-an. Situasi politik ekonomi, keadaan pasca-perang saudara, menjadikan karya sastra ini produk literasi yang banyak diminati pembaca dunia. Diakhir novel ini dilontarkan beberapa pertanyaan sebagai bahan diskusi untuk pembaca.

Sastra yang menghembuskan nafas kehidupan dan kematian, yang dapat membelenggu dan juga dapat membebaskan....

(tulisan ini pernah dimuat tabloid kampus, waktu aku masih aktif di persma dulu.)

Tidak ada komentar: